top of page

Laporan

(Pasal 1-4) Prinsip-prinsip umum dan kewajiban-kewajiban

(Pasal 1-4) Prinsip-prinsip umum dan kewajiban-kewajiban
List of Issue

Mohon berikan informasi mengenai langkah-langkah yang diambil:

  1. Mekanisme efektif yang ditetapkan dan langkah-langkah praktis yang diambil untuk meninjau dan menyelaraskan undang-undang dan kebijakan di semua tingkat pemerintahan agar sesuai dengan Konvensi, memastikan bahwa konsep disabilitas konsisten dengan Konvensi, termasuk sehubungan dengan Undang-Undang No. 11/2009 tentang Kesejahteraan Sosial, yang masih merujuk pada penyandang disabilitas sebagai orang yang memiliki masalah kesejahteraan sosial, dan bahwa bahasa yang menstigmatisasi seperti "cacat" (istilah yang merendahkan untuk "disabilitas") dan istilah seperti "defect" dihilangkan;

  2. Status Undang-Undang No. 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas, dan langkah-langkah untuk memastikan implementasinya di semua tingkat pemerintahan;

  3. Mekanisme yang ditetapkan serta sumber daya manusia dan keuangan yang tersedia di semua tingkat pemerintahan untuk konsultasi yang bermakna dengan penyandang disabilitas, termasuk melalui organisasi perwakilan mereka, mengenai semua legislasi, kebijakan, dan program;

  4. Langkah-langkah yang diambil untuk meratifikasi Protokol Opsional Konvensi, termasuk kerangka waktu yang sesuai.


Laporan Alternatif
Laporan Koalisi DPO (OHANA)

Kerangka Hukum untuk Melindungi Perempuan Penyandang Disabilitas di Indonesia: Isu-Isu Harmonisasi. Secara umum, harmonisasi peraturan perundang-undangan di Indonesia diperlukan untuk mengatasi setidaknya empat isu utama:


  1. Peraturan Menggunakan Perspektif yang Salah (Stereotip) tentang Disabilitas.

    Peraturan ini mencerminkan perspektif yang melihat disabilitas sebagai masalah sosial atau stigma:

    1. Undang-Undang No. 11/2009 jo. Undang-Undang No. 6/1974 tentang Kesejahteraan Sosial (Pasal 5 ayat 2): Undang-undang ini mencakup "disabilitas" sebagai kriteria untuk masalah sosial. Ketentuan ini sangat dipengaruhi oleh model medis, yang melihat orang dengan disabilitas sebagai sumber masalah dalam kehidupan sosial, alih-alih sebagai orang yang dibatasi oleh hambatan lingkungan.

    2. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Pasal 4 dan 39):

      1. Pasal 4 mengizinkan seorang suami untuk melakukan poligami jika istrinya memiliki disabilitas fisik atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

      2. Pasal 39 menegaskan alasan untuk perceraian jika salah satu pasangan "cacat" (sesuai dengan klausul undang-undang).

      3. Implikasi: Pasal-pasal ini sangat diskriminatif, menggunakan disabilitas sebagai alasan yang sah untuk mengakhiri pernikahan atau melakukan poligami.


  1. Peraturan Berdasarkan Model Amal (Bantuan Keuangan)

    Peraturan ini terus menggunakan pendekatan amal atau kasih sayang, daripada pendekatan berbasis hak:

    1. Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (Pasal 69): Menyatakan bahwa Pemerintah harus memberikan "uang penghiburan dan tunjangan disabilitas bagi korban bencana."

    2. Undang-Undang No. 33 Tahun 1964 dan Undang-Undang No. 34 Tahun 1964: Undang-undang ini masih menggunakan pendekatan pemberian bantuan keuangan (santunan) untuk disabilitas terkait kecelakaan, yang merupakan ciri dari model amal.

    3. Implikasi: Pendekatan ini gagal mengakui disabilitas sebagai masalah hak asasi manusia dan partisipasi, hanya berfokus pada kompensasi moneter untuk "kerugian" alih-alih menghapus hambatan struktural.


  1. Regulasi yang Masih Menggunakan Model Medis

    Regulasi ini berfokus pada kondisi medis individu atau "ketidakmampuan":

    1. Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak (Pasal 7): Menyatakan bahwa "Anak-anak dengan disabilitas memiliki hak atas layanan khusus untuk mencapai pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan batas kemampuan dan kapabilitas anak."

    2. Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (Pasal 57) dan undang-undang sektor spesifik (Perkeretaapian, Pelayaran, Penerbangan): Mengandung ketentuan serupa.

    3. Implikasi: Perspektif ini tidak hanya cacat tetapi juga berpotensi menciptakan stigma dan stereotip ketidakberdayaan karena membatasi hak dan layanan berdasarkan "batas kemampuan" yang ditentukan secara medis, alih-alih fokus pada penyediaan akomodasi yang wajar.


  1. Terminologi yang Salah dalam Regulasi Berbasis Hak

    Beberapa regulasi berusaha menggunakan perspektif berbasis hak tetapi mengandung frasa yang salah atau masih menggunakan istilah “cacat”:

    1. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Pasal 9 ayat 2 dan Pasal 51): Menggabungkan pendekatan medis dan berbasis hak secara tidak konsisten.

    2. Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (Pasal 42 ayat 1): Meskipun memiliki perspektif yang umumnya baik, formulasi ini salah (menggunakan istilah atau konsep yang usang yang tidak disinkronkan dengan CRPD).

    3. Implikasi: Terminologi dan formulasi yang tidak konsisten menciptakan kebingungan hukum dan menghambat pelaksanaan prinsip inklusi secara seragam.

Daftar Masalah yang Diajukan

  • Harmonisasi Legislasi dan Peta Jalan Kebijakan

    Langkah apa yang diambil oleh Pemerintah Indonesia untuk mengharmonisasi regulasi yang masih diskriminatif terhadap penyandang disabilitas? Apakah ada peta jalan untuk memastikan bahwa kebijakan yang ada tidak diskriminatif?


  • Pemetaan dan Inventarisasi Pasal Diskriminatif

    Apakah pemerintah memiliki pemetaan atau inventarisasi mengenai pasal-pasal diskriminatif dalam regulasi ini?


  • Pencegahan Regulasi Diskriminatif dan Pembangunan Kapasitas untuk Pegawai Negeri Sipil

    Bagaimana pemerintah mencegah munculnya legislasi diskriminatif baru terhadap penyandang disabilitas? Apakah pegawai negeri sipil (ASN) yang terlibat dalam penyusunan hukum memiliki pemahaman yang memadai tentang hak-hak disabilitas?

Respons Daftar Masalah (Koalisi/OHANA)

Pemerintah Indonesia telah melakukan upaya tindak lanjut terhadap Undang-Undang No. 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas dengan menyusun Peraturan Pemerintah (PP) untuk melaksanakan Undang-Undang tersebut. Meskipun batas waktu yang ditetapkan oleh Undang-Undang (dua tahun setelah diundangkan) telah berlalu, sejumlah PP telah disahkan pada tahun 2020. Hanya dua Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang belum diratifikasi: RPP tentang Habilitasi dan Rehabilitasi dan RPP tentang Konsepsi Keuangan Disabilitas.

Respons Daftar Masalah (HWDI)
  1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (UU Penyandang Disabilitas) telah memberikan jaminan khusus bagi perempuan penyandang disabilitas. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 5 UU 8/2016. Lebih lanjut, UU 8/2016 juga secara spesifik mengatur perempuan penyandang disabilitas dalam Pasal 125, 126, dan 127. Meskipun hak-hak perempuan penyandang disabilitas diatur secara normatif dalam UU 8/2016, pada tingkat implementasi yang lebih rinci, kerangka hukum Indonesia dinilai masih belum memadai untuk menjamin semua kondisi bagi perempuan penyandang disabilitas, termasuk pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan penyandang disabilitas.

  2. Salah satu tantangan saat ini dalam melindungi hak-hak penyandang disabilitas di Indonesia terkait dengan banyaknya kebijakan yang diterbitkan sebelum ratifikasi UN CRPD (Konvensi PBB tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas) dan sebelum diundangkannya UU 8/2016. Berbagai kebijakan ini tidak hanya bias disabilitas tetapi juga mengandung isu bias gender yang membuat perempuan penyandang disabilitas rentan terhadap diskriminasi ganda (multiple discrimination).

    Di antara regulasi yang masih diskriminatif terhadap perempuan penyandang disabilitas adalah:

    1. Berlanjutnya pemberlakuan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menegaskan diizinkannya poligami bagi suami apabila istrinya memiliki cacat atau penyakit badan yang tidak dapat disembuhkan; dan ketentuan bahwa salah satu alasan perceraian adalah ketika salah satu pihak memiliki cacat atau penyakit badan yang menghalangi mereka untuk memenuhi kewajiban sebagai suami/istri.

    2. Undang-Undang No. 17/2014 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif (ASI Eksklusif), dalam Pasal 6 ayat (3) dan (7), mengecualikan seorang perempuan dari kewajiban memberikan ASI eksklusif kepada anaknya apabila ibu tersebut memiliki disabilitas mental.

  3. Beberapa laporan yang disampaikan oleh lembaga negara dan Organisasi Penyandang Disabilitas (DPOs) menunjukkan bahwa kasus diskriminasi, kekerasan, dan penelantaran terhadap perempuan penyandang disabilitas masih sering terjadi. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melaporkan bahwa jumlah perempuan penyandang disabilitas yang menjadi korban kekerasan seksual meningkat dari 40 kasus pada tahun 2015 menjadi 89 kasus per Maret 2019.

    Sementara itu, tidak tersedia pedoman atau manual bagi aparat penegak hukum dan pemerintah yang dapat digunakan dalam penyelesaian kasus-kasus ini, yang mengakibatkan banyak kasus kekerasan (termasuk perkosaan) tidak dilaporkan dan tidak diproses. Bersamaan dengan itu, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Akomodasi yang Layak di Pengadilan belum diundangkan hingga tahun 2019. Sumber: Diolah dari data Laporan Tahunan Komnas Perempuan 2015 – 2019.

  4. Dalam hal penganggaran, pengeluaran terkait disabilitas belum diarusutamakan (mainstreamed) dalam manajemen anggaran, baik di tingkat pusat maupun daerah. Anggaran disabilitas seringkali masih berfokus pada bantuan sosial (social assistance), sementara kebutuhan akan akomodasi yang layak dan aksesibilitas tidak ditangani secara serius.

    Sebagai contoh:

    • Anggaran untuk pendidikan inklusif seringkali tidak menyertakan peningkatan pendanaan yang sesuai untuk aksesibilitas dan akomodasi yang layak di lingkungan sekolah atau untuk akses dari rumah ke sekolah. Anggaran tetap terfokus pada beasiswa per anak di sekolah tertentu.

    • Hal yang sama berlaku untuk rapat, seminar, diskusi, lokakarya, dan kegiatan pemerintah, yang seringkali gagal menganggarkan untuk juru bahasa isyarat atau alat bantu penting lainnya untuk aksesibilitas.

  5. Kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan penyandang disabilitas terus terjadi hingga saat ini, bahkan mengalami multi-diskriminasi, yang meliputi diskriminasi gender dan diskriminasi disabilitas antara budaya patriarki dan ableism. Hal ini mengarah pada perlakuan/sikap yang keliru, dengan anggapan yang salah bahwa perempuan penyandang disabilitas tidak memiliki kapasitas/kapabilitas, yang seringkali mengakibatkan keberadaan mereka diabaikan atau pendapat mereka tidak didengar. Sumber: Komnas Perempuan, 2019.


Daftar Isu yang Disarankan

  • Langkah-langkah legislatif dan administratif apa yang telah diambil Pemerintah Indonesia untuk memastikan implementasi Pasal 5 ayat (2), Pasal 125, 126, dan 127 UU 8/2016 mengenai perlindungan khusus perempuan penyandang disabilitas?

  • Laporan Pemerintah menyebutkan adanya Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Permen KPPPA) No. 23/2010 tentang PIK PPD (lembaga informasi dan konsultasi bagi perempuan penyandang disabilitas). Apakah lembaga ini telah didirikan di seluruh 34 provinsi, dan tindakan apa yang telah diambil untuk memajukan dan melindungi perempuan penyandang disabilitas? Bagaimana lembaga ini dapat berkontribusi dalam pencegahan dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan penyandang disabilitas?

  • Menunggu diundangkannya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Akses terhadap Peradilan Penyandang Disabilitas (RPP Akses terhadap Peradilan Penyandang Disabilitas), langkah-langkah apa yang sedang diambil Pemerintah Indonesia untuk memastikan bahwa perempuan penyandang disabilitas yang menjadi korban kekerasan (terutama kekerasan seksual) menerima keadilan, baik dalam hal pencegahan viktimisasi berulang maupun penyediaan rehabilitasi dan pemberdayaan?


Rekomendasi Komite

Untuk mencabut atau mengubah pasal-pasal dalam undang-undang dan kebijakan yang menggunakan konsep dan terminologi yang merendahkan bagi penyandang disabilitas, termasuk Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Omnibus Law), khususnya istilah "Penyandang Cacat" (Disabled Person/Crippled Person)


(2022)

ⓘ Indikator

Upaya dan Langkah-Langkah yang Diambil oleh Pemerintah untuk Menghilangkan Kebijakan Diskriminatif terhadap Penyandang Disabilitas (Berdasarkan Indikator Pengukuran pada tahun 2022)

Lihat Tindakan Pemerintah

Periksa tindakan pemerintah terkait laporan ini dengan mengeklik tombol di bawah

(Pasal 1-4) Prinsip-prinsip umum dan kewajiban-kewajiban

Belum Ditangani

Hubungi Kami

Jl. Kaliurang KM 16,5 , Dusun Kledokan, Umbulmartani, Ngemplak, Sleman, Yogyakarta 55584, Jawa, Indonesia

Jam buka: (Senin-Jumat) 9 pagi - 5 sore

TELP : 62 274 2861548

Telp : 62 274 2861548

Surel : ohanaorid@gmail.com

Contact Us

Thanks for submitting!

© 2023 Ohana Indonesia

bottom of page