top of page

Laporan

(Pasal 16) Bebas dari Eksploitasi, Kekerasan, dan Pelecehan.

(Pasal 16) Bebas dari Eksploitasi, Kekerasan, dan Pelecehan.

List of Issue

Silakan berikan informasi tentang langkah-langkah yang diambil:

  • Untuk mencegah dan memerangi semua bentuk eksploitasi, kekerasan, dan penyalahgunaan terhadap penyandang disabilitas, termasuk kekerasan dalam rumah tangga dan seksual serta pengabaian;

  • Untuk menyediakan layanan yang diperlukan untuk pemulihan, rehabilitasi, dan reintegrasi sosial bagi para korban;

  • Untuk menciptakan lingkungan yang aman untuk pelaporan, penyelidikan, dan penuntutan kasus eksploitasi, kekerasan, atau penyalahgunaan terhadap penyandang disabilitas;

  • Untuk menangani dan secara efektif mengurangi semua bentuk kekerasan terhadap perempuan dan gadis penyandang disabilitas, termasuk kekerasan dalam rumah tangga dan seksual, sesuai dengan komentar umum Komite No. 3 (2016) tentang perempuan dan gadis penyandang disabilitas.


Laporan Alternatif
Laporan Koalisi Organisasi Penyandang Disabilitas (OHANA)
  • Regulasi dan program yang ada belum memadai untuk mengatasi pelanggaran hak-hak Penyandang Disabilitas (PD) di Indonesia, karena hingga saat ini Indonesia belum memiliki mekanisme independen dan komprehensif tentang bagaimana kekerasan, eksploitasi, dan pelanggaran hak-hak PD di Indonesia diselesaikan. Komisi Nasional Disabilitas (KND) yang diamanatkan oleh UU 8/2016 belum juga terbentuk, karena keengganan Pemerintah Indonesia untuk membentuk Komisi independen yang tidak berada di bawah Kementerian Sosial. Perkembangan terakhir rancangan Peraturan Presiden tentang Pembentukan Komisi Nasional Disabilitas masih menempatkan KND di bawah Kementerian Sosial.

  • Organisasi Penyandang Disabilitas (OPD) menolak rencana ini, karena KND independen yang diharapkan akan sulit dicapai jika berada di bawah Kementerian Sosial (Kemensos), yang terutama menangani kebijakan dan program terkait disabilitas. Sementara itu, Kemensos terus mendorong agar KND berada di bawah kewenangannya, dengan alasan Pemerintah membatasi anggaran untuk menghindari pembentukan lembaga independen baru. Kebuntuan ini terus ditempuh Pemerintah tanpa mencari solusi yang dapat menjaga independensi KND, sekaligus memfasilitasi proses penganggaran lembaga ini selama pelaksanaannya.

  • Berbagai kasus eksploitasi masih terjadi. Kasus penyandang disabilitas dieksploitasi sebagai pengamen jalanan atau pengemis masih ditemukan, seperti yang menimpa Feryadi (35 tahun), seorang penyandang disabilitas mental di Jakarta. Selain menjadi pengamen dan pengemis, eksploitasi juga sering dilakukan dengan memaksa mereka melakukan tindak pidana (terutama penyalahgunaan narkoba), atau sebagai pekerja berupah rendah.

  • Eksploitasi terhadap penyandang disabilitas juga sering dilakukan oleh perusahaan media, di mana penyandang disabilitas sering dikomodifikasi untuk tayangan yang mengharukan dan cerita inspiratif, namun dibingkai dengan eksploitasi di bawah label kesedihan dan kemiskinan. Hal ini kemudian berdampak pada stigma, persepsi, dan stereotip masyarakat terhadap disabilitas itu sendiri.

  • Eksploitasi terhadap penyandang disabilitas juga terjadi terkait bantuan pemerintah kepada lembaga pelaksana program disabilitas. Dalam sebuah kasus yang terjadi di Makassar, Sulawesi Selatan, ditemukan 6.280 entri data fiktif siswa Sekolah Luar Biasa (SLB) di Sulawesi Selatan pada tahun 2017. Diduga, hal ini dilakukan untuk memperoleh dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) lebih banyak dari yang seharusnya. Kasus lain yang terjadi di Makassar, Sulawesi Selatan: seorang penyandang disabilitas di Makassar disekap selama sebulan, dipaksa mengonsumsi narkoba dengan pemukulan, diperkosa, dan diperdagangkan untuk memuaskan hasrat seksual.

  • Kasus lain: seorang penyandang disabilitas intelektual menjadi korban perbuatan asusila oleh pekerja sosial Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat saat mengikuti kegiatan pelatihan keterampilan di Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas (BRSPC) Cibabat, Kota Cimahi.

  • Pada tahun 2017, seorang mahasiswa berkebutuhan khusus di Universitas Gunadarma menjadi korban perundungan (bullying). Kejadian tersebut viral di media sosial. Video tersebut memperlihatkan korban diganggu oleh mahasiswa lain saat sedang berjalan. Tas korban ditarik oleh mahasiswa lain hingga ia kesulitan berjalan. Korban akhirnya berhasil melepaskan diri dan melempar tempat sampah ke arah perundung. Mahasiswa lain yang melihat kejadian tersebut hanya tertawa.

  • Pasal 28E Ayat 1 UUD 1945 menjamin hak kebebasan bergerak/pindah dan kewarganegaraan diatur dalam Pasal 28E Ayat 1 UUD 1945 dan Pasal 5 dan 25 UU 8/2016. Hak kewarganegaraan juga ditegaskan dalam UU 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan jo UU 24/2013.

  • Tantangan dalam pemenuhan dan perlindungan hak kewarganegaraan terletak pada beberapa faktor, yaitu:

    • Kesulitan memperoleh identitas kependudukan bagi penyandang disabilitas. Survei Base Line Program Peduli Disabilitas yang dilakukan SAPDA tahun 2015 menemukan masih banyak penyandang disabilitas yang belum terjangkau atau belum memiliki KTP sebagai salah satu syarat administrasi kewarganegaraan.

    • Beberapa kasus disabilitas tidak memiliki Kartu Keluarga (karena status orang tuanya), yang menyebabkan anak penyandang disabilitas kesulitan mengakses layanan sosial.

    • Ketiadaan data penyandang disabilitas yang tidak memiliki KTP, Kartu Keluarga, Akta Nikah, atau dokumen kependudukan lainnya, yang menyulitkan pemberian layanan identitas kependudukan tersebut. Meskipun Pemerintah Indonesia (melalui Kementerian Dalam Negeri) memiliki program penyediaan KTP dan identitas kependudukan bagi warga negara, hal ini belum tentu menjangkau penyandang disabilitas karena keberadaan penyandang disabilitas yang tidak memiliki KTP atau identitas kependudukan lainnya tidak diketahui. Tidak ada program khusus yang bersifat afirmatif dan dapat menjangkau seluruh penyandang disabilitas.

    • Dalam proses pembuatan dokumen-dokumen tersebut, fasilitas aksesibel dan akomodasi yang layak seringkali tidak terpenuhi. Kendala yang dihadapi terkait dengan akomodasi yang layak dan akses bagi berbagai disabilitas. Hal ini terjadi, misalnya, ketika penyandang disabilitas tidak dapat memenuhi persyaratan yang ditetapkan untuk kebutuhan paspor, seperti sidik jari, foto wajah yang harus diposisikan tepat di depan kamera, dan sebagainya. Bapak Matius, seorang yang pernah mengalami kusta dan telapak tangannya terdampak, tidak dapat memberikan sidik jari saat membuat paspor. Hal yang sama terjadi ketika seorang dengan disabilitas fisik anggota gerak atas ingin mendapatkan paspor. Dalam kasus lain, seorang penyandang disabilitas yang wajahnya tidak dapat disesuaikan dengan arah kamera harus memiringkan tubuh dan wajahnya agar dapat ditangkap kamera. Hal yang sama berlaku bagi mereka dengan disabilitas berat, psikososial, dan penyandang Cerebral Palsy (CP) yang terus bergerak, membuat perekaman menjadi sulit.

  • Masih ada kasus penyandang disabilitas dihalangi bepergian (transportasi udara) atau ke luar negeri. Kasus ini dialami oleh DA, seorang penyandang disabilitas pengguna kursi roda, yang ditolak oleh Etihad Airways saat hendak menghadiri Pelatihan CRPD di Jenewa. Larangan terbang ini karena DA adalah pengguna kursi roda yang bepergian tanpa pendampingan (sendiri). Kasus berlanjut dengan mediasi oleh OPD Kementerian Perhubungan, namun tidak terselesaikan karena opsi penyelesaian terkesan diskriminatif. Akhirnya kasus dibawa ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Gugatan menghadapi Etihad Airways, Pemerintah Indonesia, dan pengelola Bandara Soekarno Hatta. Dari proses ini, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kemudian memutuskan bahwa Etihad terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan diskriminasi terhadap Ibu DA dan memerintahkan Etihad membayar ganti rugi materiil dan moril atas diskriminasi tersebut.

  • Kendala lain adalah penyandang disabilitas selalu diminta menandatangani surat pernyataan sakit saat hendak naik pesawat. Pernyataan ini diskriminatif, karena dengan surat ini penyandang disabilitas dipaksa mengakui bahwa mereka sakit, dan dengan demikian segala risiko yang terjadi menjadi tanggung jawab penyandang disabilitas. (Lihat Foto terlampir surat pernyataan yang dimaksud). Beberapa kasus tercatat, termasuk satu pada 5 Desember 2018, di mana EI, seorang penyandang disabilitas di NTT, ditolak oleh Penerbangan Wings Air Rote-Kupang karena menolak menandatangani surat pernyataan tersebut.

Tanggapan Daftar Masalah (Koalisi/OHANA)
  • Salah satu masalah yang saat ini terjadi di Indonesia yang belum mendapat perhatian serius adalah terkait institusi/panti yang masih menampung penyandang disabilitas secara tidak manusiawi, termasuk pelecehan seksual dan pemerkosaan.

  • Pemasungan juga masih menjadi pilihan masyarakat dalam memperlakukan penyandang disabilitas. Penegak hukum dan aparat desa seringkali tidak berani atau membiarkan perlakuan ini meskipun mengetahuinya. Aparat pemerintah tingkat terendah (desa hingga dusun) belum memiliki pengetahuan dan kesadaran tentang larangan pasung dan bagaimana masyarakat harus memperlakukan penyandang disabilitas. Hal ini terjadi meskipun Pemerintah menggalakkan program "Bebas Pasung".

  • Tidak ada upaya sistematis dan komprehensif yang dilaksanakan Pemerintah untuk mencegah dan menanggulangi eksploitasi, kekerasan, dan penyiksaan terhadap penyandang disabilitas. Biasanya, program-program ini digabungkan dengan program perlindungan perempuan dan anak, seperti di DKI Jakarta yang menggabungkan program SPPT PKKTP.

  • Pemerintah Pusat dan Daerah saat ini tidak memiliki data kekerasan terhadap penyandang disabilitas secara umum maupun data terpilah perempuan penyandang disabilitas.

  • Laporan Tahunan CIQAL menyebutkan kekerasan terhadap penyandang disabilitas terjadi sepanjang tahun 2019 dan tersebar di sejumlah wilayah, yaitu: Sumatera Utara (4 kasus), Riau (1 kasus), Lampung (1 kasus), DKI Jakarta (13 kasus), Yogyakarta (47 kasus), Jawa Barat (1 kasus), Jawa Tengah (2 kasus), Jawa Timur (6 kasus), Bali (1 kasus), Sulawesi Selatan (5 kasus), Kalimantan Timur (1 kasus), Kalimantan Selatan (1 kasus), Nusa Tenggara Barat (5 kasus), dan Nusa Tenggara Timur (1 kasus). Sumber: CIQAL, 2020

  • Terkait perempuan penyandang disabilitas, pemantauan organisasi penyandang disabilitas menunjukkan hampir semua jenis disabilitas berisiko dan berpotensi menjadi korban kekerasan, terutama disabilitas psikososial, intelektual, rungu, dan kesulitan belajar. Hal ini berkaitan dengan kesulitan komunikasi yang dialami penyandang disabilitas, yang dipandang pelaku sebagai kelemahan untuk melakukan kekerasan. (Jumlah Kasus Kekerasan terhadap Perempuan Penyandang Disabilitas di Yogyakarta (2017 – 2020) Sumber: CIQAL, 2020)

  • Pemantauan Bipolar Care Indonesia (BCI) menunjukkan bahwa kekerasan yang dialami oleh penyandang disabilitas psikososial (yang meliputi Bipolar, Diagnosis Ganda, Depresi, Skizofrenia, Skizoafektif, Gangguan Kepribadian dan lain-lain) selama periode 2015 – 2019 berjumlah 1.287 kasus, terdiri dari kekerasan fisik, kekerasan psikologis, dan kekerasan ekonomi. Grafik berikut menggambarkan bentuk-bentuk kekerasan yang dialami selama periode 2016 – 2019.

  • Data BCI ini juga dikonfirmasi oleh penelitian yang dilakukan LBH Masyarakat, di mana sepanjang tahun 2017, setidaknya 159 penyandang disabilitas mental (psikososial) mengalami kekerasan, mulai dari pemasungan (35,22%), kekerasan di institusi (21,38%), pengekangan paksa (17,61%), penelantaran (13,2%), pengeroyokan/penganiayaan (8,8%), pembunuhan (1,88%), dan pemerkosaan (1,88%). Sumber: Bipolar Care Indonesia, 2020

  • Sepanjang tahun 2020, setidaknya kasus kekerasan yang dialami penyandang disabilitas mental-psikososial terus terjadi, mulai dari kekerasan psikologis (53 Kasus), Kekerasan Fisik (45 Kasus), kekerasan seksual (37 Kasus), dan Kekerasan Ekonomi (25 Kasus). Dari sisi pelaku, secara berurutan kekerasan dilakukan oleh orang tua, saudara kandung, orang dekat seperti pasangan, pacar, teman, tetangga, dan guru.

  • Dari 200 kasus yang dipantau dan didokumentasikan di atas, kekerasan fisik dialami dalam berbagai bentuk kekerasan, mulai dari pemukulan, penganiayaan, penyekapan, percobaan pembunuhan, dan kekerasan fisik lainnya. Sumber: Bipolar Care Indonesia, 2020

  • Sementara itu, terdapat 663 kasus kekerasan psikologis yang dialami penyandang disabilitas psikososial-mental selama 2016 – 2019 dalam berbagai bentuk kekerasan, mulai dari penghinaan atau perundungan, ancaman dan intimidasi, pengucilan atau pengusiran, diskriminasi, dan tidak mendapatkan hak asuh anak. Pelaku Kekerasan Psikologis yang paling umum adalah teman, keluarga dekat (orang tua, saudara, pasangan, tetangga), guru, tenaga kesehatan, dan lain-lain. Sumber: Bipolar Care Indonesia, 2020

  • Sementara itu, kekerasan ekonomi terhadap penyandang disabilitas psikososial yang terjadi dalam kurun waktu 2016 – 2019 berjumlah 205 dalam berbagai bentuk, yaitu: tidak diberi nafkah, tidak dibayar upah, ditelantarkan, tidak mendapatkan harta gono-gini, dan kasus lainnya. Pelaku Kekerasan Ekonomi yang paling umum adalah keluarga dan lingkungan sekitar, seperti orang tua, pasangan, mantan pasangan dan anak, atasan kerja, dan majikan. Sumber: Bipolar Care Indonesia, 2020

  • Sementara itu, kasus kekerasan seksual terjadi total 219 selama periode 2016 – 2019 dengan berbagai bentuk kekerasan, terutama dilakukan oleh teman, mantan pasangan, pasangan, tetangga, guru, tenaga kesehatan, dan lain-lain. Bentuk Kekerasan Seksual terhadap Orang dengan Disabilitas Psikososial (2016 – 2019; total 219 kasus) Sumber: Bipolar Care Indonesia, 2020

Tanggapan Daftar Masalah (HWDI)
  • Situasi perempuan penyandang disabilitas juga tercermin dalam sejumlah laporan yang dibuat oleh Organisasi Penyandang Disabilitas, seperti Pusat Advokasi Perempuan Disabilitas dan Anak (SAPDA), di Daerah Istimewa Yogyakarta, di mana tercatat 29 perempuan penyandang disabilitas menjadi korban kekerasan pada tahun 2015, berupa kekerasan seksual, kekerasan fisik, dan kekerasan ekonomi. Sebanyak 33 kasus terjadi pada tahun 2016 dan meningkat menjadi 35 kasus pada tahun 2017. Dari kasus yang dicatat oleh OPD di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2016, hanya 3 kasus yang sampai ke proses peradilan, dari 76 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan ke lembaga bantuan hukum dan organisasi disabilitas.

  • Penelitian yang dilakukan Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia atau HWDI pada Oktober – Desember 2015, terdapat 85 kasus kekerasan seksual terhadap penyandang disabilitas di 22 provinsi, dengan tipologi: 35% (36 kasus) terhadap disabilitas mental, 7,08% (6 kasus) terhadap disabilitas netra (sensorik), 27,06% (23 kasus) terhadap disabilitas wicara, 8,24% (4 kasus) terhadap disabilitas fisik, 10,59% (9 kasus) terhadap disabilitas ganda, dan 4,71% (4 kasus) terhadap jenis disabilitas yang tidak diketahui.

  • Pemantauan terbaru tahun 2019 yang dilakukan HWDI di 10 provinsi menunjukkan bahwa meskipun sejumlah peraturan daerah telah dibuat untuk melindungi perempuan dan anak dari eksploitasi, kekerasan, dan pelecehan, dalam praktiknya masih terdapat hambatan antara peraturan, aparatur negara dan pemerintah, serta ketersediaan akses layanan dan hukum bagi perlindungan hak perempuan penyandang disabilitas. Juga tidak ada mekanisme komprehensif untuk memastikan peraturan ini dilaksanakan secara efektif. Hal ini menyebabkan kekerasan, eksploitasi, dan pelanggaran hak disabilitas tetap tidak tertangani.

  • Kurangnya upaya terencana, sistematis, dan terukur oleh Pemerintah untuk melindungi perempuan penyandang disabilitas menyebabkan kasus kekerasan dan pelanggaran terus berlanjut. Data pemantauan hak perempuan penyandang disabilitas yang dilakukan HWDI menunjukkan setidaknya 66 kasus diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan penyandang disabilitas tersebar di 10 provinsi. Dari 66 kasus yang dipantau HWDI, diketahui bahwa hambatan dalam penanganan korban kekerasan dan eksploitasi perempuan penyandang disabilitas ada pada proses penyidikan dan penyelidikan, karena kurangnya fasilitas aksesibilitas, termasuk fasilitas mobilitas, informasi, dan komunikasi. Sementara itu, dari segi layanan, terdapat 4 aspek yang belum sepenuhnya terealisasi: pendampingan korban, nilai kesaksian penyandang disabilitas (yang dianggap tidak cakap hukum atau tidak masuk kategori kesaksian), rehabilitasi korban disabilitas, dan institusionalisasi.

  • Dalam pemetaan situasi perempuan penyandang disabilitas oleh HWDI tahun 2019, dalam kurun waktu 2017 - 2019, tercatat 115 peristiwa hukum yang menimpa perempuan penyandang disabilitas, dengan mayoritas merupakan kasus pemerkosaan, dan kasus lainnya.

  • Dilihat dari sisi pelaku, kasus kekerasan, eksploitasi, dan pelanggaran ini juga beragam, mulai dari anggota keluarga, masyarakat, hingga aparatur negara/pemerintah. Kurangnya jaminan sosial bagi kehidupan di luar keluarga membuat perempuan penyandang disabilitas menjadi korban kekerasan di rumah, seperti yang terjadi di kota Palembang, Sumatera Selatan, pada tahun 2019, di mana korbannya adalah seorang perempuan dengan sindrom Down yang sendirian di rumah dan diperkosa oleh kakak laki-lakinya dengan ancaman tidak boleh menceritakan kejadian tersebut kepada siapa pun. Di Lhoksukon, Aceh, pada September 2018, pemerkosaan oleh ayah tiri terjadi lebih dari dua kali terhadap perempuan dengan disabilitas pendengaran, dilakukan saat ibu korban tidak ada di rumah.

  • Kasus lain, di Provinsi Jawa Timur. Seorang perempuan dengan disabilitas netra di Kabupaten Sidoarjo mengalami pemerkosaan, hingga melahirkan. Terjadi pada tahun 2009 dan baru diketahui pada Juli 2017, karena tidak pernah dilaporkan oleh keluarga atau aparat desa setempat kepada penegak hukum. Saat ini (2019), anak korban pemerkosaan berusia 10 tahun. Di Pasuruan (Jawa Timur), pada 10 September 2018, seorang perempuan dengan disabilitas intelektual (20 tahun) di Kecamatan Beji, Kabupaten Pasuruan, mengalami pemerkosaan hingga hamil oleh tetangganya. Awalnya keluarga memilih penyelesaian secara kekeluargaan dengan menikahkan keduanya, namun pelaku kemudian melarikan diri dan keberadaannya tidak diketahui. Kasus akhirnya dilaporkan ke polisi, namun setelah 2 bulan tidak ada tindak lanjut. Polisi beralasan kasus ini tidak mudah karena korban memiliki disabilitas mental.


Daftar Masalah yang Diusulkan:
  1. Laporan CRPD No 78: pembentukan Pusat Informasi dan Konsultasi PPD (PIK PPD) di 9 provinsi di Indonesia menunjukkan peningkatan yang rendah dalam penanggulangan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak penyandang disabilitas dalam hal akses informasi, layanan, dan perlindungan bagi perempuan penyandang disabilitas dan kerja sama Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) dalam pembentukan PIK PPD. Bagaimana Pemerintah berupaya mengintegrasikan hak-hak penyandang disabilitas ke dalam skema kerja P2TP2A?

  2. Bagaimana proses penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Akomodasi yang Layak dalam Peradilan dan apakah semua aspek perempuan penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum telah dimasukkan, mulai dari proses penyidikan, penyelidikan, dan peradilan?

  3. Apakah ada data jumlah perempuan penyandang disabilitas yang menjadi korban kekerasan, proses penanganan, dan hingga proses pengadilan, serta pemulihan yang diberikan Negara?



Rekomendasi Komite

  • Adopsi strategi komprehensif, dengan konsultasi dekat dengan penyandang disabilitas, untuk mencegah dan menanggapi semua bentuk eksploitasi, kekerasan, dan penyalahgunaan, termasuk langkah-langkah yang sesuai dengan gender dan usia, mekanisme pengaduan independen yang dapat diakses dan pemulihan yang sesuai, serta layanan dukungan korban yang dapat diakses;

  • Ubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) untuk melarang pemerkosaan dalam perkawinan dan mencerminkan definisi pemerkosaan yang lebih luas yang mengakui pengalaman perempuan dan gadis penyandang disabilitas, serta memastikan sumber daya dan bantuan keuangan untuk laporan forensik dan tes DNA;

  • Pastikan data terpisah yang kuat dikumpulkan mengenai kekerasan terhadap penyandang disabilitas, termasuk kekerasan berbasis gender terhadap perempuan dan gadis penyandang disabilitas, di ranah pribadi dan publik.

ⓘ Indikator

Adanya mekanisme pemantauan yang efektif untuk mencegah eksploitasi, kekerasan, dan pelecehan. Pelarangan perkosaan dalam pernikahan (perkosaan marital). Data kekerasan yang terpilah berdasarkan disabilitas (kecacatan).

Lihat Tindakan Pemerintah

Periksa tindakan pemerintah terkait laporan ini dengan mengeklik tombol di bawah

(Pasal 16) Bebas dari Eksploitasi, Kekerasan, dan Pelecehan.

Belum Ditangani

Hubungi Kami

Jl. Kaliurang KM 16,5 , Dusun Kledokan, Umbulmartani, Ngemplak, Sleman, Yogyakarta 55584, Jawa, Indonesia

Jam buka: (Senin-Jumat) 9 pagi - 5 sore

TELP : 62 274 2861548

Telp : 62 274 2861548

Surel : ohanaorid@gmail.com

Contact Us

Thanks for submitting!

© 2023 Ohana Indonesia

bottom of page