Laporan
(Pasal 21) Kebebasan berekspresi dan berpendapat, dan akses terhadap informasi
(Pasal 21) Kebebasan berekspresi dan berpendapat, dan akses terhadap informasi
List of Issue
Mohon berikan informasi mengenai langkah-langkah yang diambil:
Untuk memastikan akses terhadap informasi dan komunikasi, termasuk sehubungan dengan acara publik, televisi, dan radio, melalui sarana, moda, dan format komunikasi yang aksesibel, seperti bahasa isyarat, Braille, informasi audio atau taktil, komunikasi augmentatif dan alternatif, Baca Mudah (Easy Read) dan piktogram;
Untuk mengadopsi standar Inisiatif Aksesibilitas Web (Web Accessibility Initiative) Konsorsium World Wide Web saat mengembangkan atau mempublikasikan konten di Internet;
Untuk mempromosikan adopsi bahasa isyarat nasional, melalui konsultasi erat dengan komunitas tuli.
Laporan Alternatif
Laporan Koalisi Organisasi Penyandang Disabilitas (OHANA)
UUD 1945 dalam Pasal 28 E, serta UU No. 9 Tahun 1999, UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, dan UU 8/2016 menegaskan jaminan hak atas berekspresi, berpendapat, dan memperoleh informasi. Laporan Pemerintah menyebutkan UU ITE sebagai regulasi yang menjamin akses informasi, meskipun dalam praktiknya sering digunakan untuk membatasi kebebasan berekspresi melalui delik penghinaan atau ujaran kebencian. Hal ini berlaku secara umum, yang sangat mungkin juga terjadi pada penyandang disabilitas. Dalam sosialisasi pemilu bagi penyandang disabilitas, Kapolsek Teras menghimbau agar bijak dalam bermedia sosial agar tidak terjerat UU ITE.
Bahasa Isyarat. Hingga saat ini, Juru Bahasa Isyarat (JBI) masih sangat terbatas dan belum mainstream dalam kegiatan pemerintah atau layanan publik lainnya. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: 1) pemerintah belum memandatkan penyediaan juru bahasa isyarat (JBI) dalam anggaran nasional atau daerah; 2) sektor/kementerian/lembaga tempat sertifikasi JBI bernaung belum ditentukan; 3) Perbedaan antara SIBI dan BISINDO.
Lebih lanjut, kursus bahasa isyarat versi organisasi Tuli sendiri belum diakomodasi oleh pemerintah, khususnya oleh Kementerian Sosial dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Bahasa isyarat di sektor pendidikan juga belum tersedia, dan sekolah masih menggunakan bahasa isyarat versi pemerintah. Faktanya, mayoritas penyandang Tuli lebih memahami BISINDO. Implikasinya adalah tulisan yang dihasilkan oleh penyandang disabilitas rungu yang belajar di Sekolah Luar Biasa (SLB) menggunakan SIBI sulit dipahami dan tidak sesuai dengan kaidah penulisan.
Hingga saat ini, tidak ada satu pun platform media informasi yang aksesibel bagi semua jenis disabilitas. Beberapa saluran TV memang menggunakan bahasa isyarat, tetapi hanya selama program berita selama beberapa jam saja. Hal ini disebabkan oleh kurangnya ketegasan pemerintah dalam mengatur pemilik media untuk juga menyediakan konten atau informasi yang aksesibel bagi penyandang disabilitas, baik untuk tujuan hiburan maupun berita.
Tanggapan Daftar Masalah (Koalisi/OHANA)
Akses penyandang disabilitas terhadap informasi, khususnya mereka dengan disabilitas rungu dan netra, masih sangat terbatas. Penyandang disabilitas netra sebagian besar mengandalkan radio sebagai sumber informasi, sedangkan penyandang disabilitas rungu lebih mengandalkan informasi online. Sementara itu, penyedia layanan televisi tidak semuanya menyediakan juru bahasa isyarat, termasuk televisi lokal. Sementara itu, penyedia informasi berbasis website/online, termasuk website pemerintah, penyedia layanan publik, atau perusahaan swasta, juga belum sepenuhnya aksesibel bagi berbagai disabilitas yang memenuhi World Wide Web Consortium Accessibility Initiative.
Informasi yang dapat diperoleh oleh penyandang disabilitas intelektual juga sangat jarang. Secara keseluruhan di Indonesia, orang dengan disabilitas intelektual sangat bergantung pada orang lain/pendamping untuk memperoleh informasi apa pun, termasuk selama pandemi Covid-19. Selama pandemi, orang dengan disabilitas intelektual sebagian besar diberikan informasi sebab-akibat yang mudah dipahami, tetapi ditakut-takuti dan dilarang keluar rumah tanpa penjelasan lebih lanjut.
Tanggapan Daftar Masalah (HWDI)
Perumusan peraturan di tingkat nasional dan daerah terkait hak berekspresi, berpendapat, dan memperoleh informasi belum sensitif terhadap kepentingan perempuan penyandang disabilitas. Meskipun UU 8/2016 menjamin hak ini.
Selain itu, Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2019 tentang Fasilitasi Aksesibilitas bagi Hasil Karya Penyandang Disabilitas dalam Membaca dan Menggunakan Huruf Braille, Buku Audio, dan sarana lainnya.
Hal ini digambarkan oleh beberapa fakta, bahwa Peraturan Daerah Jawa Timur No. 8 Tahun 2011 Tentang Pelayanan Publik menegaskan akses informasi publik, yang mengakui penyimpanan dan pengelolaan informasi, serta mekanisme penyampaian informasi dalam Huruf Braille. Lebih lanjut, Perda ini belum dimaksimalkan, antara lain:
Perda ini belum mengakomodasi segala bentuk penyampaian informasi yang aksesibel bagi berbagai disabilitas lainnya, seperti bahasa isyarat, juru bahasa, format mudah dibaca (easy-reading), cetakan besar (large print), dll.
Tidak adanya aspek pemaksa dalam pelaksanaannya, sehingga penyediaan informasi masih didasarkan pada tindakan sukarela penyedia informasi.
Peraturan daerah lain yang belum mengakomodasi sarana komunikasi bagi berbagai disabilitas adalah Peraturan Gubernur Jawa Timur No. 33 Tahun 2014 Tentang Petunjuk Teknis Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur No. 11 Tahun 2011 Tentang Perbaikan Gizi. Hal ini mengakibatkan informasi yang tercakup dalam Perda tidak tersampaikan kepada perempuan penyandang disabilitas, karena tidak mencantumkan bahasa isyarat, juru bahasa, format mudah dibaca, cetakan besar, dan sebagainya sebagai sarana komunikasi.
Di tingkat Kabupaten/Kota, Peraturan Bupati Sidoarjo No. 27 Tahun 2018 Tentang Penyelenggaraan Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di Kabupaten Sidoarjo, serta Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan No. 4 Tahun 2018 tentang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, juga belum sepenuhnya mengakomodasi bentuk penyampaian informasi yang aksesibel bagi berbagai jenis disabilitas.
Jawa Tengah, Peraturan Gubernur Jawa Tengah No. 11 Tahun 2017 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Daerah No. 11 Tahun 2014 tentang Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas; a. penyediaan tanda khusus, suara, dan visual berupa gambar, tulisan, lampu isyarat di tempat pembangunan infrastruktur atau fasilitas umum termasuk alat peringatan dini bencana dan b. penyediaan media massa sebagai sumber informasi dan sarana komunikasi antar penyandang disabilitas. Penyediaan aksesibilitas terkait alat komunikasi masih terbatas pada benda berwujud, seperti bel, lampu, gambar visual, dan sebagainya. Pola pikir ini sangat bertentangan dengan CRPD, karena penyandang disabilitas (termasuk penyandang disabilitas rungu) juga memiliki hak untuk berkomunikasi dengan manusia lain menggunakan alat komunikasi yang aksesibel, seperti bahasa isyarat.
Daftar Masalah yang Diusulkan
Dalam laporannya, Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) telah menyelenggarakan pelatihan dan fasilitasi terkait IT di balai rehabilitasi disabilitas sejak tahun 2008; Telah meluncurkan situs web untuk penyandang disabilitas rungu dan netra. Dibuat oleh perusahaan telekomunikasi milik negara, PT Telkom, bekerja sama dengan pihak terkait; Menciptakan permainan dan aplikasi perangkat lunak untuk penyandang disabilitas netra. Komite perlu menanyakan bagaimana Kemenkominfo memastikan bahwa penyedia informasi, baik milik negara maupun swasta, menyediakan informasi yang aksesibel bagi berbagai disabilitas? Apakah ada peraturan yang dibuat untuk mewajibkan penyedia informasi juga mengakomodasi berbagai disabilitas? Apakah ada sanksi bagi mereka yang tidak menyediakan? Bagaimana pemantauan dan evaluasi dilakukan?
Rekomendasi Komite
Membentuk mekanisme yang sesuai usia untuk memastikan akses terhadap informasi, komunikasi, alat bantu dan teknologi, serta bahasa isyarat bagi anak-anak penyandang disabilitas;
Mengimplementasikan langkah-langkah, melalui konsultasi erat dan keterlibatan aktif komunitas Tuli, untuk meningkatkan jumlah juru bahasa isyarat dan untuk memfasilitasi akses ke juru bahasa isyarat pilihan untuk interaksi resmi;
Membentuk kerangka hukum dan kebijakan untuk memastikan aksesibilitas semua informasi publik, termasuk dari layanan televisi dan media, bagi semua penyandang disabilitas dalam format yang aksesibel seperti Braille, interpretasi tuli-netra, bahasa isyarat, Baca Mudah (Easy Read), bahasa sederhana, deskripsi audio, teks, dan subtitle, dan mengalokasikan pendanaan yang memadai untuk implementasi.
ⓘ Indikator
Mekanisme untuk memastikan akses terhadap informasi, komunikasi, dan alat bantu; Keterlibatan komunitas Tuli dalam peningkatan Juru Bahasa Isyarat (JBI); Kebijakan dan hukum tentang aksesibilitas informasi publik

