top of page

Tindakan Pemerintah

(Pasal 31-33) Kewajiban Khusus

Rekomendasi Komite

Komite merekomendasikan agar Negara Pihak:

  • Memperkuat sistem pengumpulan data untuk secara komprehensif mengumpulkan data terpisah tentang penyandang disabilitas di tingkat nasional, provinsi, kota, kabupaten, dan kecamatan, menggunakan metodologi dan interpretasi yang seragam, termasuk Set Pertanyaan Pendek Kelompok Washington untuk sensus nasional;

  • Memperluas pengumpulan data disabilitas untuk mencakup bidang terpisah, seperti usia, jenis kelamin, ras, etnisitas, identitas gender, orientasi seksual, dan status adat;

  • Mengembangkan program penelitian komprehensif untuk memfasilitasi penelitian kuantitatif dan kualitatif tentang situasi penyandang disabilitas dan mempromosikan penggunaan metodologi penelitian yang inklusif terhadap disabilitas;

  • Memastikan bahwa semua sistem dan prosedur pengumpulan data menghormati kerahasiaan dan privasi penyandang disabilitas.

ⓘ Indicators

Sistem pengumpulan data; Data terpilah (terpisah) untuk penyandang disabilitas; dan Penelitian yang komprehensif

Perkembangan Implementasi Rekomendasi CRPD

2025
Undang-Undang 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas
  • Pasal 22 Hak Pendataan Penyandang Disabilitas meliputi hak untuk:

    • Didaftarkan sebagai penduduk Penyandang Disabilitas dalam kegiatan pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil;

    • Memperoleh dokumen kependudukan; dan

    • Memperoleh Kartu Penyandang Disabilitas.

  • Pasal 117-121 Pendataan Penyandang Disabilitas dilaksanakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial secara sendiri atau bersama dengan lembaga yang menyelenggarakan urusan statistik.

  • Adanya Kebijakan Satu Data dan Satu Peta belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan data disabilitas baik di tingkat pusat maupun daerah.

    • Kebijakan Satu Peta dilaksanakan berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 23 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta pada Tingkat Ketelitian Peta Skala 1:50.000.

    • Kebijakan Satu Data, Perpres 39/2019

  • Adanya Undang-Undang 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik


Proses
  • Diseminasi berbagai data otentik yang dikembangkan oleh berbagai Kementerian/Lembaga menunjukkan konstruksi masing-masing data set sesuai kepentingannya: Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), SDGs Desa, Data Penargetan Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE) yang dikoordinasikan oleh Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), dan Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek) yang dikoordinasikan oleh Bappenas, di samping banyak pengadaan lain yang dikoordinasikan oleh BPS melalui SUSENAS atau Survei Antar Sensus (SURPAS).

  • Tidak adanya pelibatan masyarakat sipil dan warga dalam penyediaan data disabilitas; BPS sedang mengevaluasi proses bisnis yang memungkinkan pelibatan aktor non-pemerintah sehingga pelibatan warga dapat menjawab kapasitas untuk pengumpulan data (data acquisition).

  • Absennya analisis kesenjangan data (data gap analysis) yang akan memungkinkan evaluasi berbagai kesenjangan data berdasarkan referensi standar internasional seperti Washington Group on Disability Statistics.

  • Tidak adanya peta tematik berbasis geospasial yang menunjukkan sebaran geospasial dan karakteristik disabilitas.

  • Keterbatasan kapasitas lembaga penyelenggara data baik di tingkat pusat maupun daerah (Kementerian Sosial/BPS) dan instansi terkait.

  • Beberapa upaya yang dilakukan dalam membangun model data komprehensif di tingkat lokal antara lain: Kabupaten Pangandaran dan Kota Cirebon (BPS/Unicef), DILANS Indonesia bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah (Ditjen Bangda), dan instansi terkait di Kelurahan Sumur Bandung, Kota Bandung.


Hasil
  • Perkiraan tersebut rendah (underestimate), tidak akurat, dan belum mencakup semua jenis disabilitas, yang mengakibatkan adanya individu dengan disabilitas yang tidak teridentifikasi (hidden disabled).

  • Kekurangan data yang akurat sering kali menyebabkan individu dengan disabilitas didiskriminasi dalam manajemen risiko bencana.

  • Ambil contoh Jawa Barat, yang memiliki hampir 50 juta penduduk. WHO memperkirakan sekitar 10-15% di setiap negara. Seharusnya ada sekitar 5 juta. Data otoritatif yang beredar di masyarakat adalah sekitar seratus ribu, termasuk mereka yang ada dalam DPT KPU (Daftar Pemilih Tetap) sebanyak 146.751 orang dari sekitar 36 juta pemilih yang memenuhi syarat.


Titik Kritis

  1. Belum ada data lengkap (data terpisah) tentang Penyandang Disabilitas.

  2. Adanya ego sektoral menyebabkan tidak adanya data terintegrasi tentang Penyandang Disabilitas.

  3. Sampai saat ini, belum ada Kartu Disabilitas.

  4. Pengalaman empiris; petugas pendaftaran penduduk untuk Penyandang Disabilitas tidak memahami berbagai jenis disabilitas, dan tidak menyadari data pribadi.

  5. Petugas sensus Regsosek tidak memahami Washington Group Short Set of Questions (tidak dimaksimalkan untuk disabilitas intelektual).


Poin-Poin Spesifik
  1. Data disabilitas yang ada adalah data PMKS (Penderita Masalah Kesejahteraan Sosial) yang tidak menggunakan pendekatan WGQ (Pertanyaan Kelompok Washington). Data yang ada tidak menyebutkan hambatan yang dihadapi atau alat bantu yang dibutuhkan.

  2. Petugas pengumpul data kurang pengetahuan tentang disabilitas, tidak dapat mengidentifikasi penyandang disabilitas dan hambatan mereka, sehingga data yang diperoleh berpotensi tidak valid.


Hubungi Kami

Jl. Kaliurang KM 16,5 , Dusun Kledokan, Umbulmartani, Ngemplak, Sleman, Yogyakarta 55584, Jawa, Indonesia

Jam buka: (Senin-Jumat) 9 pagi - 5 sore

TELP : 62 274 2861548

Telp : 62 274 2861548

Surel : ohanaorid@gmail.com

Contact Us

Thanks for submitting!

© 2023 Ohana Indonesia

bottom of page