top of page

Laporan

(Pasal 13) Akses terhadap keadilan

(Pasal 13) Akses terhadap keadilan
List of Issue

Mohon berikan informasi mengenai langkah-langkah yang diambil:

  • Untuk memasukkan akomodasi prosedural dan akomodasi yang sesuai usia dalam legislasi nasional mengenai akses ke sistem peradilan dan administrasi, termasuk apakah langkah-langkah tersebut mencakup semua fasilitas fisik dan prosedur informasi dan komunikasi yang digunakan dalam administrasi peradilan;

  • Untuk memastikan bahwa penyandang disabilitas diizinkan oleh hukum untuk memberikan kesaksian atau bertindak sebagai saksi di pengadilan;

  • Untuk memberikan pelatihan yang sesuai tentang hak-hak yang diabadikan dalam Konvensi kepada personel dan pejabat yang bekerja di sistem peradilan dan lembaga penegak hukum, untuk memastikan akses yang efektif terhadap keadilan bagi penyandang disabilitas.


Mohon juga informasikan kepada Komite tentang jumlah penyandang disabilitas yang telah menerima bantuan hukum gratis di bawah Undang-Undang No. 16/2011 tentang Bantuan Hukum.


Laporan Alternatif
Laporan Koalisi DPO (OHANA)
  • Akses keadilan masih belum sepenuhnya tercermin dalam norma hukum acara pidana, maupun dalam prosedur penanganan kasus yang melibatkan penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum. Beberapa di antaranya meliputi:

    • Undang-Undang 8/1981 masih mengabaikan cara bersaksi bagi mereka yang tunarungu dan memiliki disabilitas indra penglihatan, seperti ketidakakuan terhadap kesaksian melalui indra penciuman dan peraba.

    • Ketidakhadiran skema untuk memberikan layanan dan fasilitas guna mendukung penyediaan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas di lembaga peradilan.

    • Layanan penerjemah untuk tunarungu, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang 8/1981 Pasal 178, hanya ditujukan untuk individu tunarungu yang tidak dapat menulis.

    • Kekurangan yang parah terhadap pejabat di lembaga peradilan yang memiliki pemahaman dan keterampilan teknis untuk memberikan bantuan kepada penyandang disabilitas.

    • Undang-Undang 11/2016 tentang bantuan hukum tidak memberikan kejelasan mengenai mandat untuk aksesibilitas bantuan hukum bagi penyandang disabilitas.


  • Kekurangan dukungan semacam itu menyulitkan penyandang disabilitas untuk menjalani proses adil dalam proses peradilan, dari penyelidikan hingga analisis putusan. Selain itu, secara tidak langsung, kurangnya akses dan akomodasi yang layak akan sangat mempengaruhi penegakan substansif kesetaraan di depan hukum, karena kurangnya dukungan komunikasi untuk penyandang tunarungu dan tunanetra, misalnya, mengakibatkan kesaksian mereka tidak diterima oleh lembaga penegak hukum.


  • Ini adalah perhatian DPO yang saat ini mendorong Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk segera menyelesaikan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Akomodasi yang Layak di Lingkungan Peradilan agar hak-hak penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum dapat dijamin.


  • Beberapa lembaga penegak hukum telah mulai melakukan uji coba di tingkat daerah, misalnya, Polres Gunungkidul, Kejaksaan, dan Pengadilan Negeri Wonosari, yang didampingi oleh DPO, merintis lembaga peradilan yang inklusif. Begitu juga, Pengadilan Negeri Bone dan Bulukumba di Sulawesi Selatan. Mereka secara berkala mulai meningkatkan kualitas layanan dan fasilitas fisik agar lebih aksesibel. Namun, ini masih sangat spesifik kasus karena partisipasi DPO dalam perumusan dan pelaksanaannya. Penting bagi Pemerintah untuk memperluas cakupan pelaksanaan uji coba sambil juga melibatkan DPO, baik melalui pemerintah pusat maupun daerah.


  • Mengenai bantuan hukum, Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum menegaskan bantuan hukum untuk setiap orang, termasuk penyandang disabilitas. Namun, tidak menjelaskan lebih lanjut tentang fasilitas layanan hukum yang diperlukan oleh penyandang disabilitas, seperti penerjemah bahasa isyarat, penerjemah, dan infrastruktur yang aksesibel. Hal ini karena lembaga atau proses birokrasi untuk menyediakan anggaran bantuan hukum bagi asisten dan penerjemah bahasa isyarat untuk penyandang disabilitas masih belum jelas. Sementara itu, data bantuan hukum yang disediakan oleh Pemerintah belum terdisaggregasi, termasuk jumlah penyandang disabilitas yang menerima bantuan hukum. Dalam praktiknya, penerjemah bahasa isyarat yang biasanya mendampingi DPO umumnya takut untuk mendampingi penyandang disabilitas tunarungu di kantor polisi karena mereka juga tidak memahami bahasa hukum dan merasa takut.


  • Karena proses pelaksanaan Undang-Undang 8/2019 yang belum lengkap, penyandang disabilitas mental/intelektual masih berada di bawah pengampuan dalam hal kesaksian, karena sistem peradilan dan hukum di Indonesia belum memasukkan aspek penilaian profil sebagai sarana untuk menentukan kepentingan penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum.


  • Tidak ada akses keadilan bagi penyandang disabilitas yang mengalami kerusakan pada alat bantu mereka, seperti tongkat/ canes yang rusak, akibat tertabrak kendaraan atau alasan lain yang mengakibatkan penyandang disabilitas kehilangan akses. Tidak ada tempat untuk melaporkan kasus, menuntut klaim, meminta kompensasi, dan sanksi yang jelas bagi pelaku.


  • Dalam kasus seorang wanita dengan disabilitas yang menjadi korban pemerkosaan di Padang, Sumatera Barat, kasus tersebut diselesaikan melalui hukum adat (kekeluargaan/penyelesaian keluarga) yang diwakili oleh paman korban. Semua anggota keluarga korban adalah tunarungu. Sayangnya, proses ini tidak memberikan informasi apapun kepada korban. Korban sama sekali tidak terlibat dalam penyelesaian. Korban mengalami eksklusi sosial, misalnya ditolak layanan saat membeli sesuatu di toko, meskipun menjadi korban. Korban juga harus membayar denda satu ekor sapi sebagai keputusan hukum adat.

Tanggapan Daftar Masalah (Koalisi/OHANA)
  • Pemerintah Indonesia baru saja meratifikasi Peraturan Pemerintah (PP) tentang Akomodasi yang Layak dalam Proses Peradilan bagi Penyandang Disabilitas. Penting untuk menjelaskan bagaimana PP ini akan dilaksanakan dan arah perubahan yang akan dilakukan Pemerintah dalam sistem peradilan agar penyandang disabilitas dapat dilayani secara adil dan setara.


  • Dalam praktiknya, penyandang disabilitas masih menghadapi kesulitan dalam mengakses keadilan. Di antara masalah yang saat ini masih muncul adalah:

    • Bahasa isyarat untuk berbagai disabilitas tidak disediakan sejak proses penyelidikan, sehingga penyandang disabilitas sering kesulitan untuk berkomunikasi atau memberikan pernyataan. Penerjemah Bahasa Isyarat (JBI) biasanya dibawa oleh penyandang disabilitas itu sendiri atau asisten dari Organisasi Penyandang Disabilitas (DPO), yang dalam praktiknya terkadang terhambat oleh permintaan penuntut umum atau pengadilan untuk JBI bersertifikat.

    • Tidak banyak pengacara yang memahami bahasa isyarat dan akibatnya tidak dapat membantu penyandang disabilitas yang menghadapi hukum. Di sisi lain, penegak hukum tidak memastikan adanya bantuan hukum untuk semua penyandang disabilitas dalam proses peradilan dari penyelidikan hingga putusan.

    • Panduan dalam sistem peradilan tidak sepenuhnya dapat diakses oleh berbagai penyandang disabilitas, termasuk keluarga mereka, sehingga menyulitkan penyandang disabilitas untuk membawa kasus mereka ke proses hukum.

    • Tingginya tingkat stigma dan stereotip dari masyarakat, termasuk anggota keluarga, mengakibatkan kasus disabilitas tidak dibawa ke proses hukum. Selain itu, kasus yang dibawa ke proses hukum sering diselesaikan melalui cara damai, tanpa mempertimbangkan hak-hak penyandang disabilitas.

    • Bangunan, fasilitas, dan infrastruktur yang tidak dapat diakses untuk berbagai penyandang disabilitas, baik secara fisik maupun dalam hal informasi, teknologi, dan komunikasi, termasuk pemahaman dan kesadaran penegak hukum tentang berbagai disabilitas dan kebutuhan mereka (akomodasi yang layak).

    • Akses terhadap bantuan hukum umumnya sulit diperoleh oleh masyarakat, terutama yang kurang mampu, termasuk untuk kasus yang melibatkan penyandang disabilitas yang menghadapi hukum. Undang-Undang Bantuan Hukum belum secara khusus menegaskan bahwa penyandang disabilitas berhak atas bantuan hukum.


  • Sistem Peradilan yang Tidak Inklusif. Faktanya, banyak kasus melibatkan penyandang disabilitas yang menghadapi hukum, tetapi hanya sedikit yang mencapai tahap penyelidikan, apalagi putusan, kecuali ketika penyandang disabilitas adalah pelaku (tersangka). Contoh kasus yang dibantu oleh DPO di Kalimantan Timur: 1 kasus didampingi hingga proses laporan penyelidikan (BAP), tetapi proses persidangan tidak dilanjutkan karena kekerasan psikologis yang dialami oleh asisten DPO, sehingga tidak dapat dipantau hingga putusan Pengadilan Negeri (Kalimantan Timur).


  • Dalam satu kasus yang dibantu oleh DPO di Kalimantan Timur, seorang wanita dengan disabilitas pendengaran (inisial R, usia 17) meminta bantuan untuk penyerangan tidak senonoh yang dialaminya oleh tetangganya sendiri. Ketika melapor ke polisi, polisi tidak merespons serius kasus tersebut ketika korban memberikan pernyataan dan terlihat tidak percaya pada korban. Pertanyaan dari penyidik polisi sangat menjebak korban, membuat korban stres dan bingung. Kasus terhenti di kantor polisi dan pelaku melarikan diri.


  • Di Maluku, korban kekerasan seksual dengan disabilitas tuli tidak dapat diproses secara hukum karena penuntut umum meminta penerjemah bahasa isyarat bersertifikat yang disediakan oleh DPO, sementara penuntut umum sendiri tidak menyediakan penerjemah bahasa isyarat bersertifikat. Ini saat ini sedang dalam proses advokasi DPO. Kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dengan disabilitas yang sering dibantu oleh DPO lebih sering diselesaikan di area non-litigasi meskipun kasus tersebut telah mencapai tahap penyelidikan. Penegak hukum selalu mengarahkan pada "penyelesaian damai" meskipun keluarga korban kadang-kadang ingin kasus tersebut dilanjutkan ke pengadilan.


  • Keluarga korban menolak untuk melanjutkan ke pengadilan. Di Jawa Barat, berdasarkan pemantauan dan pendampingan dari organisasi penyandang disabilitas, kebanyakan kasus yang didampingi tidak dilanjutkan ke proses hukum karena ketidakberdayaan korban. Dari sekitar 12 kasus yang didampingi, hanya 1 kasus yang dilaporkan ke Polisi dan 1 kasus saat ini sedang diproses. Sisanya, korban dan keluarga tidak setuju untuk melanjutkan ke proses hukum. Situasi serupa juga terjadi di Yogyakarta ketika Organisasi Penyandang Disabilitas membantu korban.

Tanggapan Daftar Masalah (HWDI)
  • Pemerintah Indonesia saat ini sedang menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Akomodasi yang Layak dalam Peradilan untuk penyandang disabilitas. Meskipun Undang-Undang No. 8/2016 mengamanatkan bahwa peraturan ini harus diterbitkan 2 tahun setelah diberlakukannya undang-undang tersebut, hingga tahun 2020 pemerintah belum mengeluarkan regulasi ini. Di sisi lain, tidak ada mekanisme independen dan efektif yang dapat berfungsi sebagai alternatif bagi perempuan penyandang disabilitas dalam mengajukan kasus mereka dan mencari keadilan, termasuk mengklaim ganti rugi atas pelanggaran.


  • Untuk mendorong penegak hukum agar berkomitmen dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan penyandang disabilitas, organisasi penyandang disabilitas (DPO) telah membuat MoU untuk berkolaborasi dengan lembaga negara. Pada bulan Oktober 2019, HWDI membuat MoU dengan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia mengenai pelayanan dan perlindungan hak-hak perempuan penyandang disabilitas. Namun, tantangan terbesar sebenarnya terletak pada pelaksanaan MoU di tingkat lokal akibat kurangnya pemahaman dan kesadaran tentang perlindungan perempuan penyandang disabilitas di kalangan penegak hukum.


  • Polisi Nasional Indonesia sudah memiliki Unit Perlindungan Perempuan dan Anak, sebagaimana diatur dalam Peraturan Kepala Polisi Nomor 10 Tahun 2007 tentang Organisasi dan Manajemen Unit Perlindungan Perempuan dan Anak dalam Lingkungan Kepolisian Republik Indonesia. Personel polisi khusus telah dilatih dan bertanggung jawab atas unit ini, yang didirikan khusus untuk menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Unit ini dapat ditemukan di 34 provinsi di seluruh Indonesia. Namun, masalahnya adalah bahwa mekanisme untuk menangani kasus-kasus tersebut belum memenuhi persyaratan untuk akomodasi yang wajar bagi anak-anak dan perempuan dengan disabilitas yang menghadapi masalah hukum, termasuk fasilitas dan infrastruktur yang tepat, fisik dan non-fisik, seperti petugas yang mengerti bahasa isyarat, perangkat komunikasi yang dapat diakses, dan media informasi menggunakan format Bahasa Sederhana.


  • Penelitian yang dilakukan oleh Asosiasi Perempuan Penyandang Disabilitas Indonesia (HWDI) di empat kabupaten di Indonesia (2015) menunjukkan bahwa kekerasan seksual terhadap perempuan penyandang disabilitas terus terjadi, disebabkan oleh hal-hal berikut:

    • Mekanisme perlindungan yang buruk dan kesadaran di antara penegak hukum.

    • Pelaku adalah bagian dari keluarga yang memiliki wewenang untuk tidak melanjutkan kasus. Ada satu kasus di mana korban melahirkan tiga kali oleh pelaku yang sama tetapi tidak ada tindakan hukum yang diambil.

    • Istilah hukum yang saat ini digunakan tidak sesuai dengan kebutuhan perempuan penyandang disabilitas dan anak-anak yang menjadi korban kekerasan.

    • Kurangnya infrastruktur, sistem dukungan, dan fasilitas bagi penyandang disabilitas, termasuk juru bahasa isyarat, asisten untuk membantu mereka memahami dokumen dan formulir yang harus diisi, sejak awal penyelidikan hingga persidangan.

    • Karena korban mungkin mengalami kesulitan komunikasi, penegak hukum sebagian besar akan menolak kasus tersebut.

    • (f) Hukum Indonesia tidak mengakui kesaksian dari orang-orang dengan disabilitas intelektual dan psikososial.


  • Pengamatan yang dilakukan oleh HWDI pada tahun 2019 di 10 daerah di Indonesia menunjukkan bahwa dari 35 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan penyandang disabilitas (dari 2016 hingga 2019), hanya 4 kasus yang menerima putusan pengadilan dan para pelakunya dijatuhi hukuman. Ada 4 kasus yang berkembang sangat lambat, disebabkan oleh keraguan dan kurangnya kepercayaan dari penegak hukum terhadap kesaksian penyandang disabilitas, di Jawa Timur dan Aceh. Sementara itu, ada 7 kasus yang masih menggantung tanpa kepastian penyelidikan, meskipun sudah dilaporkan. Pengamatan juga mencatat bahwa ada 6 kasus yang diproses oleh penegak hukum tetapi akhirnya diselesaikan secara damai (biasanya dengan menikahkan korban dengan pelaku) atau ditutupi. Sisa 14 kasus, hingga laporan ini ditulis, masih dalam proses atau dalam persidangan.


  • Proses hukum yang lambat bagi perempuan penyandang disabilitas yang menjadi korban kekerasan disebabkan oleh stigma dan keengganan di antara petugas polisi dan keluarga, yang menganggap bahwa korban tidak mampu secara hukum dan tidak dapat bersaksi. Selain itu, asisten profesional seperti psikolog atau psikiater tidak selalu tersedia.

  • Beberapa kasus yang dapat dikumpulkan adalah sebagai berikut:

    • Kasus di Pasuruan, Jawa Timur, pada September 2018: seorang wanita berusia 20 tahun dengan disabilitas intelektual diperkosa secara berulang kali oleh tiga tetangganya hingga hamil. Keluarga korban awalnya menyelesaikan kasus tersebut secara damai dengan menikahkan korban dengan pelaku, tetapi pelaku kemudian melarikan diri. Setelah kasus dilaporkan, polisi mengalami masalah dengan komunikasi dan kesaksian korban, sehingga memakan waktu lebih lama untuk ditangani. Kasus serupa juga terjadi di Jember, Jawa Timur. Kasus pengaduan diajukan ke kepolisian pada Mei 2019, tetapi tertunda selama enam bulan karena mereka masih melakukan sidang pendahuluan atas kasus tersebut.

    • Di Jawa Tengah, seorang wanita tunarungu di Surakarta diperkosa dan dirampok oleh enam pria. Selama proses penyelidikan, polisi menyewa seorang penerjemah bahasa isyarat. Sayangnya, bahasa isyarat yang digunakan oleh korban berbeda dari penerjemah. Selain itu, korban tidak diperbolehkan dibantu oleh pihak lain. Akibatnya, kesaksian tersebut disalahartikan dan polisi menyimpulkan bahwa itu bukan pemerkosaan tetapi konsensual. Polisi hanya menuntut pelaku dengan tuduhan perampokan, yang lebih ringan dari yang seharusnya.

    • Kasus serupa juga terjadi di Bireuen, Aceh, yang saat ini ditangani oleh penegak hukum di Aceh. Kasus ini terjadi pada Mei 2019, ketika korban sedang bermain dengan anak pelaku di rumahnya. Ketika dia berada di kamar mandi, pelaku menarik, melepas pakaiannya, menyiksa, dan memperkosanya. Ini terjadi berulang kali di lokasi yang berbeda. Kasus ini masih dalam proses, tetapi kemajuannya lambat karena korban dikatakan terus mengubah kesaksiannya.


  • The perlindungan hukum yang buruk bagi perempuan penyandang disabilitas juga digambarkan dalam Undang-Undang Bantuan Hukum, yang tidak memprioritaskan perempuan penyandang disabilitas. Selain itu, undang-undang tersebut tidak memasukkan perempuan penyandang disabilitas sebagai kelompok sasaran khusus yang berhak atas perlakuan khusus (tindakan afirmatif); bantuan hukum yang disebutkan dalam undang-undang hanya diperuntukkan bagi Pelaku, sementara bantuan hukum untuk korban tidak diatur. Menurut LBH Apik, bantuan hukum yang paling banyak diminta oleh perempuan adalah bantuan hukum untuk korban.


Rekomendasi Komite

Komite mengingatkan kembali Prinsip dan Pedoman Internasional tentang Akses terhadap Keadilan bagi Penyandang Disabilitas, dan menargetkan 16.3 dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, dan merekomendasikan agar Negara Pihak:

  • Mengadopsi rencana aksi mengenai akses keadilan bagi penyandang disabilitas, termasuk langkah-langkah untuk menghilangkan hambatan fisik dan sikap terhadap semua fasilitas peradilan dan untuk menerapkan langkah-langkah hukum, administratif, dan peradilan yang diperlukan demi partisipasi efektif penyandang disabilitas di semua tahapan proses peradilan;

  • Melakukan penyesuaian prosedural dan sesuai usia, termasuk penyediaan individual, untuk memastikan bahwa penyandang disabilitas dapat berpartisipasi secara efektif dalam semua aspek proses hukum;

  • Memastikan akses terhadap sarana informasi dan komunikasi alternatif dan augmentatif untuk digunakan selama proses hukum, seperti Braille, bahasa isyarat, Easy Read , dan transkripsi audio dan video;

  • Memperkuat pelatihan Konvensi bagi pejabat penegak hukum dan keadilan, termasuk di daerah pedesaan dan pulau-pulau terpencil.

ⓘ Indikator

Rencana Aksi Nasional (RAN) untuk akses terhadap keadilan dan penghapusan hambatan akses Informasi dan Komunikasi di sektor peradilan, serta penguatan kapasitas aparat penegak hukum.

Lihat Tindakan Pemerintah

Periksa tindakan pemerintah terkait laporan ini dengan mengeklik tombol di bawah

(Pasal 13) Akses terhadap keadilan

No action taken

Hubungi Kami

Jl. Kaliurang KM 16,5 , Dusun Kledokan, Umbulmartani, Ngemplak, Sleman, Yogyakarta 55584, Jawa, Indonesia

Jam buka: (Senin-Jumat) 9 pagi - 5 sore

TELP : 62 274 2861548

Telp : 62 274 2861548

Surel : ohanaorid@gmail.com

Contact Us

Thanks for submitting!

© 2023 Ohana Indonesia

bottom of page