Tindakan Pemerintah
(Pasal 25) Kesehatan
Rekomendasi Komite
Mengingat hubungan antara Pasal 25 Konvensi dan target 3.7 dan 3.8 dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, Komite merekomendasikan agar Negara Pihak:
Memperkuat rencana aksi untuk memastikan aksesibilitas dan ketersediaan layanan kesehatan dan peralatan bagi penyandang disabilitas, terutama di daerah pedesaan dan terpencil;
Memberikan anak-anak dan orang dewasa dengan disabilitas, terutama orang asli dengan disabilitas serta perempuan dan gadis dengan disabilitas, akses kepada layanan kesehatan seksual dan reproduksi serta pendidikan yang sesuai dengan usia;
Menjamin bahwa asuransi kesehatan publik memberikan cakupan penuh bagi semua penyandang disabilitas, termasuk mereka yang memiliki disabilitas intelektual atau psikososial.
ⓘ Indicators
RAN (Rencana Aksi Nasional) untuk aksesibilitas dan ketersediaan layanan kesehatan. Akses terhadap layanan kesehatan seksual dan reproduksi. Jaminan kesehatan bagi semua Penyandang Disabilitas (PwD)
Perkembangan Implementasi Rekomendasi CRPD
2025
Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, Pasal 6 sampai 16, mengenai tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Pasal 22 - 29 mengenai upaya pelaksanaan kesehatan.
Pasal 53 mengenai kesehatan orang dengan disabilitas.
Hukum mewajibkan pengeluaran anggaran wajib, yang sebelumnya 5% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan 10% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tidak termasuk gaji, berdasarkan kinerja, dihapuskan. Program-program ini fokus pada pencegahan dan promosi kesehatan, termasuk infrastruktur pusat dan daerah; dengan fokus pada penyakit jantung dan diabetes.
Untuk penyandang disabilitas dengan penyakit langka atau kronis; penyakit langka umumnya bersifat kronis, jangka panjang, diklasifikasikan sebagai parah (berat), dan progresif, mereka terabaikan.
Mengenai penyakit langka, pemerintah tidak melaksanakan promosi dan kampanye, hal ini dilakukan secara mandiri oleh Organisasi Penyandang Disabilitas (OPD).
Untuk pengobatan dan perawatan, BPJS memang menanggungnya tetapi hanya sebagian; koreksi rahang atau koreksi jantung dilakukan bertahap, tidak semuanya ditanggung oleh BPJS, termasuk alat bantu kesehatan esensial untuk penyakit langka, seperti alat bantu pernapasan.
Setelah 1 atau 2 bulan, rumah sakit mulai merekomendasikan pasien untuk perawatan di rumah (home care), meskipun pasien penyandang disabilitas tidak memiliki peralatan yang memadai di rumah, tidak memiliki keterampilan, tidak memiliki kemampuan; semuanya harus diurus secara mandiri. Ketika ada bantuan eksternal, alat-alat ini juga tidak dapat dioperasikan dengan kapasitas listrik yang dimiliki oleh pasien.
In the health sector, the following cases still occur:
Terkait Obat-Obatan
"Untuk masalah kesehatan, jika obat yang ditanggung BPJS tidak cocok untuk anak, tetapi jika mereka menginginkan obat yang biasa (digunakan), mereka harus membayar harga umum."
"Obat-obatan mahal seperti relaksan otot yang harganya Rp 10.000 per pil. Sementara obat itu bisa diminum tiga kali sehari."
Terkait Ketersediaan Layanan dan Pengetahuan Staf Medis
"Bu, saya hanya berbagi, kalau laporan mungkin ada formatnya ya. Karin lahir di Sumatera Selatan, tepatnya di Kabupaten Muara Enim, sebelumnya Karin diminta oleh dokter spesialis anak untuk MRI saat Karin belum genap setahun, saya lupa usia pastinya. Karin memiliki riwayat prematuritas karena ketuban pecah dini selama 2x24 jam (saat itu weekend dokter menunggu sampai hari Senin untuk caesar, alasannya untuk mempertahankan bayi dalam kandungan selama mungkin untuk pematangan paru, padahal saat konsultasi di Jogja, pecah 2x24 jam itu memperburuk kondisi otak bayi) di usia 32 minggu, BBLR 1,7 kg. Kemudian saat saya membawa Karin ke RSUD Palembang untuk MRI, dokter saraf anak mengatakan penyebabnya jelas prematuritas dan kemudian hanya memberikan diazepam untuk spastisitas serta menyarankan hanya fisioterapi. Akhirnya saya membawa Karin kembali ke Jogja, dan di Jogja, dilakukan banyak pemeriksaan, tes mata, tes telinga, MRI, EEG, TORC, sepertinya daerah masih sangat tidak mendukung untuk kasus cerebral palsy Bu. Setelah lahir Karin langsung masuk NICU selama 1,5 bulan. Saya cukup kecewa dengan dokter saraf anak di Palembang. Karin adalah salah satu yang beruntung bisa ke Jogja, mungkin di Sumatera Selatan masih banyak anak cerebral palsy yang kurang beruntung untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak Bu. dan minimnya informasi mengenai penanganan dan pendampingan untuk keluarga cerebral palsy."
Terkait Alat Bantu Kesehatan (PEG dan NGT)
"Pemasangan PEG yang pertama, itu keberuntungan Hans. Jadi dokter bedah anak dengan baik hati mengajukannya ke Rumah Sakit, dan ternyata Rumah Sakit mau menanggungnya. PEG ini perlu diganti secara berkala setiap 4-6 bulan. Dokter saraf sendiri mengakui bahwa jika di luar negeri, sudah umum anak CP menggunakan PEG, tetapi di Indonesia mereka belum berani menyarankan itu kepada orang tua karena alatnya mahal dan tidak ditanggung oleh BPJS. Tetapi untuk pemasangannya, BPJS mau menanggungnya. Kemarin 40 hari rawat inap, Alhamdulillah kami tidak mengeluarkan biaya sepeser pun. Bahkan baclofen, jika masih rawat inap, masih bisa ditanggung BPJS. Setelah keluar untuk rawat jalan, barulah semua obat mahal tidak ditanggung. Untuk selanjutnya, kami sudah mendapat kabar bahwa alat PEG harus ditanggung sendiri. Prosedur pemasangannya masih bisa ditanggung. Saya juga ingin berbagi beberapa hal yang tidak ditanggung oleh BPJS: 1. Selang NGT. 2. Pemasangan NGT jika sewaktu-waktu terlepas, bahkan saat baru pertama dipasang. 3. Di Faskes 1 (Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama) pemasangan bisa gratis, tetapi personelnya tidak bisa memasang (ini sebenarnya lucu, kan). 4. PEG tidak ditanggung)*. 5. Apalagi aksesoris perawatannya (Seperti hipafix, NaCl, dll). 6. Obat-obatan yang tidak ditanggung: baclofen, obat nebu, fleet enema. Baclofen ini hanya tersedia sebagai obat paten, yang generik dari pemerintah sendiri tidak tersedia. Dan harganya Rp 9.8 ribu per pil, bahkan di Kimia Farma, yang merupakan BUMN (Badan Usaha Milik Negara), harganya bisa mencapai Rp 11 ribu (ini juga di luar nalar, badan milik pemerintah tetapi harga obat dan alat kesehatan selalu melebihi Harga Eceran Tertinggi (HET), dan selalu lebih tinggi dari apotek lain. Sayangnya, obat yang selalu sulit didapat hanya tersedia di KF)."
Terapi yang Tidak Sesuai Kebutuhan
Contoh sederhana: dokter rehabilitasi menyarankan terapi harian untuk mengejar ketertinggalan, tetapi BPJS hanya mengizinkan dua kali seminggu, ini pada akhirnya dapat menghambat kemajuan. Apa yang mungkin bisa disembuhkan dalam waktu singkat, tetapi karena programnya tidak maksimal, jadi memakan waktu lebih lama, atau bahkan tidak sembuh. Itu seperti membuang-buang waktu dan biaya.

