Tindakan Pemerintah
(Pasal 24) Pendidikan
Rekomendasi Komite
dengan mempertimbangkan Komentar Umum No. 4 (2016) tentang hak atas pendidikan inklusif dan Target 4.5 dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), Komite merekomendasikan agar Negara Pihak (Indonesia):
Mengembangkan strategi pendidikan inklusif, dengan target, jangka waktu, dan anggaran yang spesifik, serta tanggung jawab yang terkoordinasi antara tingkat nasional, provinsi, kota, dan kabupaten/kota, yang mencakup semua jenjang pendidikan.
Mendirikan unit layanan disabilitas di semua wilayah dan pada semua jenjang pendidikan untuk memfasilitasi penyediaan materi pembelajaran yang aksesibel, metode komunikasi dan informasi alternatif, seperti akses digital inklusif, Easy Read, Braille, bahasa isyarat, alat bantu komunikasi, serta alat bantu dan teknologi informasi, dan untuk memastikan pelatihan guru dalam bahasa isyarat dan Braille, termasuk di wilayah pedesaan dan terpencil.
Mengembangkan kebijakan dan strategi untuk mengatasi stigma dan misinformasi tentang kusta (lepra) di dalam sistem pendidikan dan untuk memastikan partisipasi anak-anak yang pernah mengalami kusta atau anak-anak yang orang tuanya terkena dampak kusta dalam pendidikan inklusif.
ⓘ Indicators
Pembentukan Unit Layanan Disabilitas (ULD) dalam Pendidikan, Target Pendidikan Inklusif, serta Kebijakan dan Strategi untuk Mengatasi Stigma dan Misinformasi tentang Kusta (Lepra).
Perkembangan Implementasi Rekomendasi CRPD
2025
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 13 Tahun 2020 Tentang Akomodasi Layak untuk Siswa Penyandang Disabilitas (peraturan ini tidak mengatur target atau jadwal tertentu, tetapi mengatur anggaran dan koordinasi di tingkat nasional, provinsi, kota, dan kabupaten.)
Peraturan Gubernur Kalimantan Timur (Pergub) No. 17 Tahun 2023 tentang Standarisasi Pendidikan Inklusif di Pendidikan Menengah. Diusulkan oleh organisasi penyandang disabilitas, rancangan disiapkan oleh PPPDI. Prosesnya memakan waktu hingga 5 tahun untuk menjadi Peraturan Gubernur.
Guru Pendamping Khusus (GPK) adalah tanggung jawab sekolah, sementara Pemerintah memberikan dukungan, termasuk dengan memberikan beasiswa kepada Penyandang Disabilitas (PD).
Di Kalimantan Timur: Ketersediaan Sekolah Inklusif sangat jarang, memaksa siswa untuk mencari sekolah di luar daerah.
Current situation for persons with disabilities:
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengatur kewenangan Pengelolaan Pendidikan Khusus oleh Pemerintah Provinsi, yang berdampak pada tidak tersedianya Guru Pendamping Khusus (GPK) yang diatur dalam Peraturan Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009. Sekolah Luar Biasa (SLB) menjadi Pusat Sumber (Resource Center) untuk pelaksanaan pendidikan inklusif. Dengan pengambilalihan SLB oleh Provinsi, Pendidikan Dasar (Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama) tidak memiliki Guru Pendamping Khusus.
Guru sekolah seharusnya dapat menggantikan GPK sebelumnya. Guru mata pelajaran diharapkan mendapatkan edukasi dengan pendekatan disabilitas.
Pendidikan Inklusif pada Pendidikan Dasar berada dalam kondisi mati suri (dormant), dan sekolah membebankan biaya GPK kepada orang tua/wali. Pendidikan bagi Penyandang Disabilitas hanya dapat dilaksanakan di SLB, yang dengan kurikulum Vokasi 70:30, dinilai sangat stereotip dan diskriminatif.
Di Tegal, penyandang disabilitas masih sulit memperoleh hak pendidikan. Hal ini disebabkan kurangnya sekolah berkebutuhan khusus karena hanya ada 1 SLB negeri dan 1 SLB swasta di kabupaten tersebut; Kuota yang diterima SLB negeri hanya 8 siswa per kelas, sementara SLB swasta hanya menerima mereka yang mandiri. Anak yang mengeluarkan air liur (ngeces) tidak diterima; Batas usia maksimal untuk mendaftar SLB adalah 8 tahun. Padahal, beberapa tingkat disabilitas tertentu baru mulai memahami sesuatu pada usia 10 tahun, sehingga banyak anak tidak dapat masuk SLB karena usia; Ini sangat mengkhawatirkan bagi anak-anak dengan Cerebral Palsy (CP) di Tegal. Banyak yang tidak bersekolah.
Di Papua, Pendidikan Inklusif masih merupakan kebijakan pusat, belum menjadi kebijakan daerah; sejak Peraturan Pemerintah tahun 2009, belum ada sosialisasi ke Kabupaten/Kota, dan Guru serta sekolah tidak memahami sekolah inklusif, baik dari segi infrastruktur maupun perspektif inklusif dan pengajaran anak penyandang disabilitas.
Di Kalimantan Timur (Kaltim): GPK adalah tanggung jawab sekolah, sementara Pemerintah mendukung hal ini, termasuk dengan memberikan beasiswa kepada Penyandang Disabilitas. Ketersediaan Sekolah Inklusif jarang, memaksa peserta didik mencari sekolah di luar wilayah.
Di Solo, untuk sekolah inklusif di salah satu wilayah dampingan kami, sebagian besar hanya sekadar label, pembaruan data GPK terbaru pada tahun 2021 menunjukkan tidak ada guru GPK, dan bahkan ada satu sekolah dasar inklusif yang ditutup pada tahun 2023 karena jumlah siswanya kecil dan dianggap sebagai sekolah untuk 'anak gila' karena menerima anak berkebutuhan khusus, yang menyebabkan banyak orang tua memindahkan anak-anak mereka ke sekolah lain, karena orang tua khawatir tertular.
Di Yogyakarta, cerita dari seorang guru SLB menyatakan bahwa "siswa kelas 1 saya saat ini adalah penyandang disabilitas fisik tanpa disabilitas intelektual, namun karena kurangnya pengetahuan tentang bagaimana pendidikan inklusif berjalan? Apakah ada guru pendamping khusus, dan bagaimana jika mereka di-bully**, ibu-ibu, khususnya, lebih memilih mengirim anak mereka ke SLB. Salah satunya (bernama I) baru saja mendaftar, tetapi aksesibilitas di Sekolah Dasar tempat mereka mendaftar tidak aksesibel, jadi mereka langsung mendaftar di SLB saya (jadi mereka belum masuk). Yang lainnya (bernama E) juga belum masuk. Mereka mendaftar langsung di SLB; pihak SLB menyarankan pendidikan inklusif, tetapi ibu tersebut tetap ingin mengirim anak ke SLB, alasannya adalah takut anaknya di-bully, dan ketidakpastian apakah ada GPK di Sekolah Dasar yang dituju. Orang tua tidak mengerti apa itu pendidikan inklusif? Jadi mereka cenderung memasukkan anak-anak mereka ke SLB, tahun ajaran 2023/2024."
Tidak semua guru di sekolah yang memiliki peserta didik penyandang disabilitas memahami isu-isu disabilitas dan interaksi dengan penyandang disabilitas.
Mahasiswa jurusan Pendidikan Luar Biasa sering menggunakan istilah dengan konotasi negatif untuk merujuk pada penyandang disabilitas (misalnya, ketunaan (defect), normal/abnormal, sempurna/tidak sempurna, beruntung/tidak beruntung). Hal ini karena istilah-istilah tersebut juga digunakan dalam perkuliahan. Ada kebutuhan untuk pembaruan isu-isu disabilitas di pendidikan tinggi, terutama di jurusan pendidikan khusus. (terkait perkembangan isu, terminologi, etika interaksi)
Meskipun Peraturan Nomor 48 Tahun 2023 sudah ada, provinsi Yogyakarta belum melihat pendirian unit layanan disabilitas tambahan di dinas pendidikan kabupaten/kota di provinsi DIY. Per 2024, unit layanan disabilitas hanya ada di Kota Jogja.
Dan masih ada ketidakpastian mengenai guru pendamping untuk anak-anak dengan cerebral palsy dan ketakutan akan perundungan (bullying) di sekolah inklusif. Berikut adalah cerita singkat dari seorang guru di SLB di provinsi DIY:
“Siswa kelas 1 saya saat ini adalah penyandang disabilitas fisik tanpa disabilitas intelektual, namun karena kurangnya pengetahuan tentang bagaimana pendidikan inklusif berjalan? Apakah ada guru pendamping khusus, dan bagaimana jika mereka di-bully**, ibu-ibu, khususnya, lebih memilih mengirim anak mereka ke SLB. Salah satunya (bernama I) baru saja mendaftar, tetapi aksesibilitas di Sekolah Dasar tempat mereka mendaftar tidak aksesibel, jadi mereka langsung mendaftar di SLB saya (jadi mereka belum masuk). Yang lainnya (bernama E) juga belum masuk. Mereka mendaftar langsung di SLB; pihak SLB menyarankan pendidikan inklusif, tetapi ibu tersebut tetap ingin mengirim anak ke SLB, alasannya adalah takut anaknya di-bully, dan ketidakpastian apakah ada GPK di Sekolah Dasar yang dituju. Orang tua tidak mengerti apa itu pendidikan inklusif? Jadi mereka cenderung memasukkan anak-anak mereka ke SLB, tahun ajaran 2023/2024."
Peraturan Pendidikan Tinggi DIY Nomor 77 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif
2023
Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 48 Tahun 2023 tentang Akomodasi yang Layak untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas pada Satuan Pendidikan Anak Usia Dini Formal, Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah, dan Pendidikan Tinggi.
Untuk sekolah inklusif di salah satu wilayah dampingan kami, sebagian besar hanyalah label, pembaruan data GPK terakhir pada tahun 2021 menunjukkan tidak ada Guru Pendamping Khusus (GPK), dan bahkan ada satu sekolah dasar inklusif yang ditutup pada tahun 2023 karena jumlah siswanya sedikit dan dianggap sebagai sekolah untuk ‘anak gila’ karena menerima anak berkebutuhan khusus, yang menyebabkan banyak orang tua memindahkan anak-anak mereka ke sekolah lain, karena orang tua khawatir tertular (Solo).
Terdapat Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 48 Tahun 2023 tentang Akomodasi yang Layak untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas pada Satuan Pendidikan Anak Usia Dini Formal, Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah, dan Pendidikan Tinggi.

