top of page

PERLINDUNGAN HAK HUKUM BAGI PENYANDANG DISTABILITAS YANGBERHADAPAN DENGAN HUKUM DALAM PROSES PRADIL

Setiap orang memiliki kedudukan yang sama di muka hukum hal ini juga sebebagi pemenuhan hak konsitusional setiap warga negara, termasuk juga dalam hal ini adalah seorang penyandang distabilitas. Penyandang distbailitas telah memiliki perlindungan yang diatur juga dalam berbagai undang-undang, namun terdapat celah terkait dengan perlindungan disabilitas antara undang-undang Nomor 19 tahun 2021 tentang pengesahaan Konvensi Mengenai Hak Penyandang Distabilitas dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP), sehingga membahas mengenai distabilitas sebagai pelaku tindak pidana merupakan sesuatu hal yang perlu dianggap penting untuk memberikan kepastian hukum dalam pemenuhan hak hukum sebagai pelaku tindak pidana.

Terciptanya nilai keadilan dalam hak asasi manusia dengan memberikan jaminan hukum, penegakannya yang adil bagi warga negara yang mana setiap warga negara memiliki persamaan kedudukan di hadapan hukum, apabila penyandang distabilitas sebagai pelaku tindak pidana tentu tidak dapat disamakan dengan bagaimana orang normal sebagai pelaku tindak pidana, sehingga paradigma aparat penegak hukum tidak lagi memandang bahwa pelaku ataupun pelibatan penyandang disatbailitas sebagai penghambat dalam proses peradilan.

Salah satunya hak yang dimiliki penyandang ditabilitas termuat dalam pasal 9 UU No. 8 tahun 2016 yang menyatakan hak atas perlakukan yang sama dihadapa hukum, diakuai sebagai subjek hukum, memiliki dan mewarisi harta bergerak atau tidak bergerak, memilih dan menujuk orang yang mewakili kepentingan di dalam dan di luar pengadilan, yang pada intinya menguatakan kesamaan dimuka hukum dan diakuinya sebagai subjek hukum sebagaimana warga negara lainnya.

Menurut M. Syafi’i, subsatnsi hukum yang mencederai nilai kemanusaian masih menjadi salah satu hambatan di ranah peradilan yang memiliki peotensi adanya tindakan diskriminasii terhadap kaum difabel, dalam substansi KUHAP hingga saat ini masih belum memperhatikan karakteristik difabel. Kenyataannya distabilitas yang berhadapan dengan hukum masih jauh dari harapn apalgi mendapatkan perlindungan yang lebih karena kehususannya masiih memiliki unsur diskiriminasi hukum terhadap kaum distabilitas.

Dalam hal penyandang distabilitas berhadapan dengan hukum, wajib menyediakan atau mengakomidasi dalam setiap tahap penyelidikan sampai dengan tahap pengadilan, pemerintah pusat dan pemerintah daerah merupakan pihak yang bertanggungjawab untuk menjamin pelakansakan perlidnungan hukum penyandang distabilitas, hal ini termuat dalam pasal 28 UU penyandang disatbilitas dengan cara menyediakan bantuan hukum dan memberikan dempaingan kepada meraka dalam setiap tahap pemriksanaan di lembaga penegak hukum, hal ini pula aparat penegak hukum wajib meminta pertimbangan kepada dokter, atau pisikolog dan/atau pisikiater dalam tahap pemriksaan dan harus didampingi.

Impelementasi ketentuan perlindungan hukum bagi penyandang distabilitas yang berhadapan dengan hukum yang berkaitan dengan kewajiban dan kewenangan pemerintah daerah, Pasal 28 UU Penyadang Distabiltas megandung konsekuesni bahwa setiap Pemda harus merumuskan peraturan daerah untuk dapat menjamin terlaksanakan perlindungan hukum bagi penyandang distabilitas, naamun secara relaitasnya tidak semua daerah memiliki ketentuan yang mengatur tentang pelindungan bagi penyandang ditabilitas, sehingga dalam penegakan hukum pada tahap penyelidikan maupun tahap persidangan para aparat penegak hukum selalu kebingungan dalam menyelesaiakan permsalahaan hukum yang dihadapi oleh distabilitas.

Pasal 29 UU penyandang distabilitas mewajibkan setiap pemda menyedikan bantuan hukum bagi penyandang ditabilitas, Pasal ini berkonsekuesi bahwa setiap pemda memiliki lemaga bagnuan hukum untuk kepetingan pendaingan bagi penyandang sitabilitas. Kemudian ketentuan pasal 30 sampai dengan pasal 35 tentang perlunnya pertimbangan atau saran dari dokter, hal ini juga bersifat ambiguitas jika dikomparasikan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP). Penjelasan terkiat dengan saksi, ketentuan KUHAP juga turut melemahkan bagi penyandang distabilitas minsalkan dengan gangguan pendegaran (tuna rungu) dan gangguan pengelihtan (tuna netra) pada saat dimintai ketrangan guna kepentingan penyidikan, penuntutnan dan peradilan tentang suatu perkara pidana. Hal ini kemudian muncul kembali yang berkaitan dengan kecakapan hukum penyandang distabilitas yang terjadi disharmonisasi dengan ketentuan dalam KUHPerdata yang termuat dalam buku I KUHPerdara pasal 433 dijelaskan bahwa difabel dungu, gila atau mata gelap haruslah dibawah pengampuan dan dianggap tidak cakap hukum, ini lah yang menyebabkan disriminasi terhadap para difabel sehingga seorang penyandang difabel yang berhadapan dengan hukum hak-hak sebagai seorang warga negara sangat tidak dienuhi.

Dalam impelemntasinya ketidakcakapan hukum dapat menimbulkan diskrimanasi jika penentuan tidak berdasarkan keterangan dokter, pskilogi dan atau psikiater, merujuk terhadap Pasal 4 UU Penyandang Distabilitas yang menjadi pembeda penyandang distabilitas masuk dibedakan menjadi empat ragam, yaitu, fisik, mental, intelektual, dan sensorik, dengan keragaman tersebut mengahruskan adanya ketentuan yang berbeda lagi dalam hal penyandang distabilitas cakap hukum. Hal ini menjadi permsalahaan dasar dalam menentukan kecakapan hukum adalah adanya standarisasi dimana sesorang yang berhadapan hukum dipengadilan hanya diterma jika sesorang adalah orang yang sehat secara jasmani dan rohani. Kemudian kembali dalam Pasal 36 sampai dengan 38 UU Penyandang Distabilitas menwajibkan pengadilan dan lembaga pemasyarakatan menjadikan sarana yang memadai untuk penyandang distabilitas, hal ini sangat berkiatan dengan hak akses bagi mereka yang sedang berhadapan dengan hukum, baik sebagai pelaku, korban, saksi, maupun narapidana. Ketersediaan pendampingan atau penrjemah, ketersesdiaan alat media, sarana dan prasarana yang dibutuhkan selama proses penyelidikan, penydikkan, hingga persidangan. Pengaturan hukum tentang distabilitas ini merupakan refresentasi nyata untuk mengatur hak-hak hukum penyandang distabilitas yang memuat sebuah harapan yang diharapakan mampu untuk menjadi kontrol bagi perlindungan hak hukum penyandang distabilitas. Paradigma hukum terhadap kelompok ini haruslah di rubah, dari melihat kemampuan lain yang dimiliknya, hal ini tentunya menjadi cara pandang baru secara filosofis setiap aturan perundang-undangan yang menyangkut perundang-undangan dan ditanamkan dalam pikiran para aparat penegak hukum, sehingga akan memberikan perubahan dalam proses penegakan hukum yang melibatkan penyandang distabilitas bahkan dalam hal ini sebenaranya penyandang media masa menjadi pengaruh besar untuk terus menyuarakan sikap inklusi terhadap penyandang distablitas.

Bahwa respon pemerintah daerah dan pemerintah pusat juga menjadi pemasalahaan terkait dengan penyususnnan perda, kewenangan yang ditribusikan oleh pemerintah pusat ke pemerintah daerah memiliki permasaslaahn aksesbilitas maupun pendampingan terhadap penyandang distabilitas yang berhadap dengan hukum, padahal hak-hak setiap orang yang berkonflik hukum haruslah diberikan bagi setiap warga negara. Merujuk terhadap Pasal 54 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa untuk kepentingan pembelaan, tersangka atau terdawka berhak untuk mendapatkan bantuan hukum dari sesorang atu lebih penasehat hukum selam dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksanaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini. Inilah yang kemudian menjadi hak seorang tersangka ataupun terdawka termasuk juga penyandang distabiltas yang berhadapan dengan hukum, karena tidak menutup kemungkiinan seorang distabilitas dapat melakukan perbuatan kejahatan yang dalam hal ini perbuatan pidana.

Kemudian dalam pasal 36 UU Penyandang Distabilitas lembaga penegak hukum wajib menyediakan akomidasi yang layak bagi penyandang distabilitas dalam proses pradilan, namun hal terebut merupakan kewenangan pemerintah daerah untuk memberikan akomidasi serta pelayanan untuk penyandang distabilitas, lantas bagaimana ketika pemrintah daerah belum memiliki perda yang mengatur hal tersebut, permsalaahn pemenuhan hak bagi penyandang ini lah kerap kali di hilangkan oleh aparat penegak hukum termasuk juga pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Dengan adanya permaslaahn dan pengeuraian hak yang masih sangat jauh dari haprapan yang kemudian UU penyandang disabilitas tidak mampu mengakomodir keseluruhan, namun dalam upaya proses kebjiakan-kebijakan yang akan dibuat kedapan merupakan sesuatu hal yang sangat diharapan bagi kaum distabilitas. Pemerhatian bagi kaum penyandang distabilitas yang berhak mendapatkan perlindungan hukum sebagaimana yang diatur juga dalam undang-undang nomor 8 tahun 2016 tentang penyandang distabilitas, serta setiap wilayah di indonesia telah memberikan peraturan daerah tentang penyandang distabilitas guna memberikan hak bagi kaum distabilitas, tidak kalah pentingnya juga terkait dengan isu pembentukan Komnas Distabilitas yang sangat diperjuakan oleh para pemerhati distabilitas hal ini sangat penting untuk menghindari konflik terhadap pemerintah daerah, lembaga penegak hukum serta organisasi pemerhati distabilitas, sehingga akan memberikan khususan dalam pemenuhan hak-hak penyandang distabilitas yang berhadapn dengan hukum.

0 views0 comments

Recent Posts

See All

Tujuan dari penyampaian keterangan ahli dalam sidang Mahkamah Konstitusi adalah memberikan detail pemahaman tentang keterkaitan hukum Hak Asasi International, khususnya Konvensi PBB tentang Hak Peny

bottom of page