top of page

KETERANGAN AHLI DALAM SIDANG MAHKAMAH KONSTITUSI

Tujuan dari penyampaian keterangan ahli dalam sidang Mahkamah Konstitusi adalah memberikan detail pemahaman tentang keterkaitan hukum Hak Asasi International, khususnya Konvensi PBB tentang Hak Penyandang Disabilitas sebagai instrument hukum HAM international yang sudah diratifikasi oleh Negara Republik Indonesia dan hak penyandang disabilitas mental/psikososial dalam ketentuan pasal Pasal 433 Kitab UndangUndang Hukum Perdata.


Dalam penulisan keterangan ini, saya akan memfokuskan pada tiga hal besar yaitu keterkaitan dengan Undang – Undang Dasar 1945, sebagai landasan Undang – Undang Tertinggi, Undang – Undang nomor 19 tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) serta relevansi dengan artikulasi pasal 4 tentang Kewajiban Umum dan 12 Pengakuan yang Setara di Depan Hukum dalam Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas yang selanjutnya disebut sebagai CRPD (Convention on the Rights of Persons with Disabilities) serta Komentar Umum nomor 1 tahun 2014.


Aspek yang pertama, negara Indonesia memiliki Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi landasan hukum yang paling tinggi. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, selanjutnya disebuat sebagai UU NRI 1945 ini bahkan menyebutkan secara explisit dalam beberapa pasal yang sangat signifikan dengan ketentuan pasal 12 Konvensi mengenai HakHak Penyandang Disabilitas tentang Pengakuan yang Setara di Depan Hukum. Antara lain telah disebutkan dalam pasal pasal 27 (1) UU NRI 1945 bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Dari penafsiran pasal ini bahwa semua warga negara tanpa kecuali termasuk warga negara penyandang disabilitas memiliki hak yang sama di depan hukum. Demikian pula dengan ketentuan pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (1), Pasal 28I ayat (2), 28G ayat (1) dan pasal Pasal 28 G ayat (2) UUD NRI 1945. Ketentuan dalam pasal – pasal tersebut telah sejalan dan sesuai dengan pasal 12 Konvensi mengenai HakHak Penyandang Disabilitas khususnya dalam pasal 12 ayat (1 sampai dengan 5) dimana secara jelas menegaskan bahwa:

(1). Negara-negara pihak menegaskan kembali bahwa penyandang disabilitas memiliki hak untuk diakui di mana saja sebagai orang di hadapan hukum

(2). Negara-negara pihak harus mengakui bahwa penyandang disabilitas menikmati kapasitas hukum atas dasar kesetaraan dengan orang lain dalam semua aspek kehidupan.

(3). Negara-Negara Pihak wajib mengambil langkah-langkah yang tepat untuk menyediakan akses bagi penyandang disabilitas terhadap dukungan yang mungkin mereka perlukan dalam menjalankan kapasitas hukum mereka.

(4). Negara-Negara Pihak harus memastikan bahwa semua tindakan yang berkaitan dengan pelaksanaan kapasitas hukum memberikan perlindungan yang tepat dan efektif untuk mencegah penyalahgunaan sesuai dengan hukum hak asasi manusia internasional. Perlindungan tersebut harus memastikan bahwa tindakan yang berkaitan dengan pelaksanaan kapasitas hukum menghormati hak, kehendak dan preferensi orang tersebut, bebas dari konflik kepentingan dan pengaruh yang tidak semestinya, proporsional dan disesuaikan dengan keadaan orang tersebut, diterapkan dalam waktu sesingkat mungkin dan dapat ditinjau secara berkala oleh otoritas atau badan peradilan yang kompeten, independen dan tidak memihak. Pengamanan harus sebanding dengan sejauh mana tindakan tersebut mempengaruhi hak dan kepentingan orang tersebut.

(5). Tunduk pada ketentuan pasal ini, Negara-Negara Pihak harus mengambil semua tindakan yang tepat dan efektif untuk menjamin hak yang sama bagi penyandang disabilitas untuk memiliki atau mewarisi harta benda, untuk mengendalikan urusan keuangan mereka sendiri dan untuk mendapatkan akses yang sama ke pinjaman bank, hipotek dan bentuk lain dari kredit finansial, dan harus memastikan bahwa penyandang disabilitas tidak secara sewenang-wenang dirampas harta bendanya.


Sehingga jelas bahwa dalam UU NRI 1945 maupun Konvensi tentang Hak Penyandang Disabilitas terdapat kesesuaian prinsip – prinsip kesetaraan di depan hukum bagi penyandang disabilitas dan memastikan semua warga negara penyandang disabilitas memiliki hak yang sama sebagai subjek hukum dalam semua bidang kehidupan dan penghidupan, tanpa kecuali. Namun masih banyak negara yang belum mengakui dan memberikan jaminan secara hukum kepada penyandang disabilitas memiliki hak sebagai subjek hukum dan setara di depan hukum, sehingga dalam Konvensi Hak Penyandang Disabilitas pasal 12 ini menjadi focus pasal yang telah dibuatkan penafsirannya pertama kalinya dalam Komentar Umum nomor 1 tahun 2014. Mengingat tidak diakuinya hak kesetaraan di depan hukum dan atas kapasitas hukum penyandang disabilitas ini akan menyebabkan hilangnya hak – hak penyandang disabilitas yang lain, seperti diterangkan dalam paragraph 8 Komentar Umum nomor 1 tahun 2014 bahwa: “penolakan terhadap kapasitas hukum penyandang disabilitas dalam banyak kasus, menyebabkan mereka kehilangan banyak hak yang fundamental, termasuk hak untuk memilih dalam Pemilu, hak untuk menikah dan membentuk keluarga, hak reproduksi, hak menjadi orang tua, hak untuk memberi persetujuan dalam perawatan medis, dan hak atas kebebasan.”


Hak – hak yang fundamental lain, yang akan hilang akibat dari tidak adanya pengakuan yang setara di depan hukum bagi penyandang disabilitas adalah hak untuk memiliki atau mewarisi harta benda, untuk mengendalikan urusan keuangan mereka sendiri dan untuk mendapatkan akses yang sama ke pinjaman bank, hipotek dan bentuk lain dari kredit finansial (seperti termaktub dalam pasal 12 ayat 5 Konvensi Hak Penyandang Disabilitas). Disamping itu dalam Komentar Umum ada penegasan bahwa “Hak atas pengakuan yang sama di hadapan hukum mengandung arti bahwa kecakapan hukum bersifat universal yang melekat pada diri semua orang, berdasarkan kemanusiaannya dan harus ditegakkan bagi penyandang disabilitas atas dasar kesetaraan dengan orang lain. Kapasitas hukum sangat diperlukan untuk pelaksanaan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Hal ini menjadi sangat penting bagi penyandang disabilitas ketika mereka harus membuat keputusan mendasar mengenai kesehatan, pendidikan dan pekerjaan mereka.” 1 Oleh karena itu, dikabulkannya uji materiil pasal 433 KUH Perdata ini menjadi sangat mendukung pelaksanaan hak asasi penyandang disabilitas mental serta menghindari segala bentuk diskriminasi dan kekerasan secara fisik dan mental bagi penyandang disabilitas mental dalam semua bidang kehidupan dan penghidupan mereka. Perlunya pengakuan secara konsitusional bahwa hak kesetaraan di depan hukum bagi penyandang disabilitas mental adalah mutlak dan harus mendapatkan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan oleh negara


Aspek yang kedua, dalam Undang – Undang nomor 19 tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas), negara Indonesia menetapkan dalam ratifikasi Konvensi hak Penyandang Disabilitas melalui UU ini, dalam “hal menimbang” huruf (a), (b) dan (c) yang antara lain menyebutkan bahwa:

(a). bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng sehingga itu harus dilindungi, dihormati, dan dipertahankan;

(b). bahwa negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sehingga perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia terhadap kelompok rentan khususnya penyandang disabilitas perlu ditingkatkan;

(c). bahwa dalam upaya melindungi, menghormati, memajukan, dan memenuhi hak-hak penyandang disabilitas Pemerintah Republik Indonesia telah membentuk berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pelindungan terhadap penyandang disabilitas;


Artinya bahwa upaya penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi penyandang disabilitas menjadi konsideran yang utama dalam undang-undang pengesahan atau ratifikasi Konvensi tentang Hak Penyandang Disabilitas ini. Selain itu, ada penegasan bahwa negara Indonesia memiliki komitmen secara konstitusional berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sehingga perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia terhadap penyandang disabilitas yang harus dilakukan secara terus menerus.


Mencermati kembali aspek pertimbangan dalam UU Ratifikasi tersebut, pasal 4 Konvensi tentang Hak Penyandang Disabilitas menegaskan tentang Kewajiban Umum ini mempersyaratkan bahwa “semua negara yang meratifikasi Konvensi ini, mendukung pelaksanaan Konvensi Hak Penyandang Disabilitas secara penuh di tingkat domestik (dalam negeri) terhadap hak-hak yang diatur dalam konvensi, ‘tanpa diskriminasi dalam bentuk apa pun berdasarkan disabilitas’ dan membuat secara eksplisit serangkaian kewajiban secara terperincu untuk mencapai tujuan ini.2 Kewajiban negara dalam Konvensi memliki 3 definisi yaitu menghormati, melindungi dan memenuhi yang berarti bahwa negara harus mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, anggaran, yudisial, dan langkah-langkah lain yang sesuai, yang bertujuan untuk realisasi pelaksanaaan Konvensi secara penuh.


Selain itu, landasan fundamental dalam pelaksanaan kewajiban umum yang harus dipenuhi Negara Indonesia sebagai negara pihak yang meratifikasi Konvensi Hak Penyandang Disabilitas adalah pasal 26 (pacta sunt servanda) Konvensi Vienna tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian, “Setiap perjanjian (treaty) yang berlaku mengikat para pihak yang membuatnya dan harus dilakukan oleh mereka dengan itikad baik.”3 “Di bawah hukum international, negara yang sudah meratifikasi sebuah traktat atau konvensi memiliki kewajiban untuk mengadaptasi dalam hukum negara tersebut dengan itikad baik.” Pada prinsipnya negara harus menetapkan legislasi dan jika diperlukan untuk mengubah atau mencabut undang-undang atau hukum nasional yang tidak sesuai dengan kewajiban perjanjian/treaty dalam hal ini Konvensi tentang Hak Penyandang Disabilitas.


Aspek yang ketiga, seperti Hukum International lainnya sebagai hukum tentang hak asasi manusia, Konvensi Hak Penyandang Disabilitas ini telah banyak diratifikasi oleh 185 negara di dunia, termasuk Indonesia. Konvensi ini disahkan mengingat sejarah dan penanganan serta banyaknya kasus diskriminasi terhadap penyandang disabilitas termasuk penyandang disabilitas mental yang cenderung kejam dan terus menerus mendapatkan perlakuan yang semena-mena akibat tidak diakui haknya sebagai subjek hukum di berbagai negara. Dalam hal ini berkaitan dengan sejarah perkembangan pendekatan pada penyandang disabilitas dan yang kedua tentang campur aduknya pemahaman tentang konsep kapasitasitas mental dan kapasitas hukum dari penyandang disabilitas psikososial.


Berawal dari pendekatan belas kasihan dan pendekatan medis mengakibatkan “pengucilan sosial penyandang disabilitas terjadi sepanjang waktu dan wilayah, di semua bidang kehidupan dan telah mengambil berbagai bentuk dan pola, termasuk namun tidak terbatas pada stereotip negatif tentang mereka, penempatan penyandang disabilitas di dalam panti atau tempat yang terisolasi. Kehidupan, pendidikan dan pekerjaan di luar pengaturan reguler, perampasan kebebasan atas dasar disabilitas melalui perlakuan paksa dan pengurungan paksa, serta berbagai bentuk diskriminasi.” Berdasarkan laporan dari berbagai Negara Pihak yang telah ditinjaunya sejauh ini, Komite Konvensi Hak Penyandang Disabilitas mengamati adanya kesalahpahaman tentang pelaksanaan Konvensi Hak Penyandang Disabilitas dalam konteks hukum nasional, khususnya tentang ruang lingkup yang tepat dari kewajiban Negara Pihak yang harus dilakukan di dalam negerinya, berdasarkan pasal 12 Konvensi tentang Kesetaraan di Depan Hukum. Terlihat adanya kegagalan yang signifikan dalam memahami bahwa model pendekatan disabilitas yang berbasis hak asasi manusia dan belum sepenuhnya menyiratkan pergeseran dari paradigma substitute decision-making ke paradigma supportive decision-making yang sesuai dengan komponen pasal 12 Konvensi.


Konvensi Hak penyandang disabilitas kemudian hadir menjadi sebuah ketentuan hukum HAM international penyandang disabilitas untuk mengeliminasi segala bentuk diskriminasi dan kekerasan yang terjadi di dunia. Pendekatan yang dikembangkan adalah berbasis Hak Asasi Manusia dimana Konvensi ini memposisikan persamaan hak di depan hukum merupakan prinsip dasar dalam perlindungan hak asasi manusia, dan sangat diperlukan untuk pelaksanaan hak asasi manusia lainnya. Persamaan hak di depan hukum, juga diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang secara khusus menjamin hak atas persamaan di depan hukum. Selain itu, Pasal 15 Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan menjamin kesetaraan perempuan di depan hukum dan mensyaratkan pengakuan kapasitas hukum perempuan atas dasar kesetaraan dengan laki-laki, termasuk dalam hal membuat kontrak perjanjian, mengelola properti dan menjalankan hak mereka dalam sistem peradilan. Pasal 3 Piagam Afrika tentang Hak Asasi Manusia dan Rakyat menetapkan hak setiap orang untuk diperlakukan sama di depan hukum dan untuk menikmati perlindungan hukum yang sama. Pasal 3 Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia mengabadikan hak atas kepribadian yuridis dan hak setiap orang atas pengakuan sebagai pribadi di hadapan hukum.


Pasal 12 Konvensi Hak Penyandang Disabilitas pun menegaskan tentang perbedaan legal capacity atau kapasitas hukum dan kapasitas mental seseorang. Berdasarkan Pasal 433 KUHPerdata dalam hal ini, konteks penegakannya maupun hukumnya secara materiil menjadi “legal barrier” dan bahkan menjadi “discriminatory law” di Indonesia. Berdasarkan pasal 433 KUHPerdata, seseorang harus berada di bawah pengampuan jika orang (dewasa) tersebut berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, walaupun terkadang orang tersebut cakap menggunakan pikirannya. Selain itu, orang dewasa juga dapat ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan (disebutkan dalam Pasal 433 KUHPerdata). Terminologi dan penggunaan istilah tersebut juga tidak sesuai dengan Konvensi Hak Penyandang Disabilitas. Terminologi ini jelas berpengaruh terhadap stigmatisasi dan diskriminasi pada kelompok difabel. Hal ini pun tidak disadari oleh system peradilan di Indonesia, sehingga perangkat peradilan dan segala bentuk kebijakan yang dihasilkan pun, bisa dikategorikan sebagai discriminatory terminology dan tidak dikatakan sebagai “disability rights sensitive.”


Pasal 433 KUHPerdata semakin menguatkan rezim guardianship dimana dampaknya melanggengkan penyandang disabilitas tinggal di panti-panti rehabilitasi dan bahkan mengalami forced treatment and degrading inhuman treatment/pemaksaan pengobatan tanpa informed consent dan perlakuan tidak manusiawi sampai dengan kehilangan hak sebagai warga Negara yang fundamental misalnya hak memilih dan dipilih dalam Pemilu, hak untuk menikah dan berkeluarga serta hak memiliki property termasuk hak mengakses financial affairs misalnya Kredit Bank, KPR bahkan kredit usaha kecil pun tidak bisa diakses. CRPD hadir dalam hal ini untuk memberikan perspective baru dalam “universal legal capacity” yang tidak membatasi basis disabilitas atau kapasitas mental, penolakan pengakuan hak persamaaan di depan hukum benar – benar mengakibatkan jutaan penyandang disabilitas mengalami berbagai bentuk diskriminasi, isolasi dan perlakuan yang tidak manusiawi seumur hidupnya.


Oleh karena itu Legal capacity menurut CRPD pasal 12 dan General Comment/Komentar Umum tentang Pengakuan Kapasitas di depan Hukum yang setara menegaskan dengan kuat bahwa : Kapasitas hukum untuk menjadi pemegang hak memberikan hak kepada seseorang untuk mendapatkan perlindungan penuh atas haknya oleh sistem hukum. Kapasitas hukum untuk bertindak berdasarkan hukum mengakui orang tersebut sebagai agen dengan kekuasaan untuk terlibat dalam transaksi dan membuat, mengubah, atau mengakhiri hubungan hukum. Hak atas pengakuan sebagai agen hukum diatur dalam pasal 12, paragraf 5 Konvensi seperti yang dijelaskan sebelumnya, yang menguraikan kewajiban Negara-negara Pihak untuk “mengambil semua langkah yang tepat dan efektif untuk memastikan persamaan hak penyandang disabilitas untuk memiliki atau mewarisi. properti, untuk mengontrol urusan keuangan mereka sendiri dan untuk memiliki akses yang sama ke pinjaman bank, hipotek dan bentuk kredit keuangan lainnya, dan memastikan bahwa penyandang disabilitas tidak dirampas properti mereka secara sewenang-wenang.”


Kapasitas mental mengacu pada keterampilan pengambilan keputusan seseorang, yang secara alami bervariasi dari satu orang ke orang lain, dan mungkin berbeda untuk orang tertentu tergantung pada banyak faktor, termasuk faktor lingkungan dan sosial. Pasal 12 Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas, bagaimanapun, memperjelas bahwa “pikiran yang tidak sehat” dan label diskriminatif lainnya bukanlah alasan yang sah untuk penolakan kapasitas hukum. Berdasarkan pasal 12 Konvensi, defisit atau kekurangan yang dirasakan atau aktualitas dalam kapasitas mental tidak boleh digunakan sebagai pembenaran untuk menolak kapasitas hukum seseorang.


Oleh karena itu, substansi dari kapasitas hukum tersebut harus diakui agar hak atas kapasitas hukum dapat dipenuhi; mereka tidak bisa dipisahkan. Konsep kapasitas mental itu sendiri sangat kontroversial. Kapasitas mental, seperti yang biasa disajikan, bukanlah fenomena yang objektif, ilmiah, dan terjadi secara alami. Kapasitas mental bergantung pada konteks sosial dan politik, begitu pula disiplin ilmu, profesi dan praktik yang memainkan peran dominan dalam menilai kapasitas mental.9 Selain itu sebagian besar laporan Negara Pihak yang telah diperiksa oleh Komite sejauh ini, konsep kapasitas mental dan hukum telah digabungkan sehingga seseorang dianggap memiliki gangguan keterampilan membuat keputusan, seringkali karena disabilitas kognitif atau psikososial, atau kapasitas hukumnya untuk membuat keputusan tertentu dihapuskan atau dihilangkan. Di bawah ini penjelasan pasal 12 CRPD dalam konteks tentang kapasitas hukum menurut Konvensi Hak Penyandang Disabilitas:

Pasal 12, paragraf 3, mengakui bahwa Negara-negara Pihak memiliki kewajiban untuk memberikan penyandang disabilitas akses untuk mendukung pelaksanaan kapasitas hukum mereka. Negara-negara pihak harus menahan diri untuk tidak menyangkal kapasitas hukum mereka dan harus, sebaliknya, memberikan penyandang disabilitas akses ke dukungan yang diperlukan untuk memungkinkan mereka membuat keputusan yang memiliki dampak hukum.

Pasal 12, ayat 4, menguraikan pengamanan yang harus ada dalam sistem dukungan dalam pelaksanaan kapasitas hukum. Pasal 12, paragraf 4, harus dibaca sehubungan dengan pasal 12 lainnya dan seluruh Konvensi. Ini mengharuskan Negara Pihak untuk membuat pengamanan yang sesuai dan efektif untuk pelaksanaan kapasitas hukum. Tujuan utama pengamanan ini harus memastikan penghormatan terhadap hak, kemauan, dan preferensi orang tersebut. Untuk mencapai ini, pengamanan harus memberikan perlindungan dari penyalahgunaan atas dasar yang sama dengan orang lain.

Pasal 12, paragraf 5, mensyaratkan Negara Pihak untuk mengambil tindakan, termasuk tindakan legislatif, administratif, yudikatif dan tindakan praktis lainnya, untuk memastikan hak penyandang disabilitas dalam urusan keuangan dan ekonomi, atas dasar kesetaraan dengan orang lain. Akses ke keuangan dan properti secara tradisional ditolak oleh penyandang disabilitas berdasarkan model pendekatan medis bagi penyandang disabilitas. Pendekatan penolakan kapasitas hukum penyandang disabilitas untuk masalah keuangan harus diganti dengan dukungan untuk menjalankan kapasitas hukum, sesuai dengan pasal 12 ayat 3. Dengan cara yang sama gender tidak boleh digunakan sebagai dasar diskriminasi di bidang keuangan dan properti, hanya karena memiliki disabilitas.


Penjelasan dari penafsiran pasal 12 Konvensi tersebut mendukung dan menguatkan adanya perubahan dan penghapusan atau mencabut ketentuan undang-undang atau hukum nasional yang tidak sesuai dan tidak konsisten dengan kewajiban perjanjian/treaty dalam hal ini Konvensi tentang Hak Penyandang Disabilitas. Perubahan atau pencabutan ketentuan pasal 433 KUHPerdata ini akan mendukung terwujudnya persamaan hak penyandang disabilitas di depan hukum, sehingga mereka bisa mewujudkan hak-haknya yang lain dengan setara. Ada negara-negara yang sudah melakukan perubahan dan reformasi hukum tentang kapasitas hukum yang setara pada penyandang disabilitas psikososial antara lain Peru, Argentina, Irlandia, Kolombia dan Costa Rica – yang mengakui kapasitas hukum semua penyandang disabilitas, serta telah menghapus rezim pengambilan keputusan pengganti, dan menghapus pembatasan hak-hak mereka dengan menciptakan peraturan hukum untuk mendukung mekanisme supportive decision-making.


Kesimpulannya, pandangan dan analysis yang saya sampaikan kepada Mahkamah Konstitusi adalah mendukung negara Indonesia secara holistik serta berlandaskan pendekatan hak asasi manusia untuk mencabut pasal 433 KUHPerdata, dengan memastikan dan mengakui bahwa hak penyandang disabilitas mental atas kapasitas hukum tidak dibatasi atas dasar ketidaksetaraan dengan orang lain dan berdasarkan disabilitas yang dimiliki. Praktik-praktik yang ada selama ini harus dihapuskan berikut ketentuan pasal yang diskriminatif, untuk memastikan bahwa kapasitas hukum penuh dipulihkan bagi penyandang disabilitas mental atas dasar komitmen negara yang berlandaskan UUD NRI 1945 dan komitmen meratifikasi Konvensi tentang Hak Penyandang Disabilitas sesuai pelaksanaan amanah dalam Kewajiban Umum dalam Konvensi ini.

1 view0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page