Kapasitas Hukum : Difabel sebagai Subjek HukumPerdataDalam Penegakan Hukum Indonesia
Topik yang menarik untuk diperdebatkan ketika kita membicarakan kapasitas hukum Penyandang Disabilitas atau lebih dikenal dengan difabel dalam dunia persilatan hak – hak difabel. Bahkan tidak hanya di Indonesia melainkan dalam konteks global, khususnya hukum HAM international, legal capacity atau kapasitas hukum difabel ini menjadi perdebatan dan diskursus yang tidak pernah selesai. Dalam hukum Indonesia yang menganut hukum Belanda tidak menganut sistem Jurispridence atau ketentuan hukum yang berlaku sebelumnya dan yang telah dijadikan sebagai keputusan pengadilan atau keputusan dalam sidang. Apabila dalam sebuah sidang pengadilan hukum perdata, Hakim Perdata menemukan dan membuat keputusan yang baru, maka keputusan ini tidak berlaku ketika memutuskan kasus perdata yang hampir sama. Keputusan pengadilan tidak menjadi bagian dalam menentukan yurisprudensi terutama dalam hal kapasitas hukum bagi penyandang disabilitas. KUH Perdata dalam hal ini konteks penegakannya maupun hukumnya secara materiil kemudian menjadi “legal barrier” dan bahkan menjadi “discriminatory law” di Indonesia.
Sedangkan dalam Konvensi International tentang Hak Penyandang Disabilitas yang menganut konsep jurisprudence dimana, rekomendasi atau keputusan hasil sidang di PBB mengacu pada keputusan sebelumnya yang telah disepakati oleh 18 anggota Komite CRPD. Hal ini dipersyaratkan oleh Komite CRPD untuk membuat standard hukum yang berlaku terhadap pelanggaran Hak Asasi Difabel yang berkaitan pada semua bidang dalam hidup difabel tersebut. Dimana masih ada ruang – ruang perdebatan serta mempertimbangkan keputusan dalam sidang – sidang sebelumnya. Dalam perspective Hukum HAM international, pendekatan yang legaslistic formal, tanpa ada ruang perdebatan, pengkajian dan penemuan keputusan hukum yang baru akan menjadi hambatan besar dalam penghormatan dan pemenuhan HAM Difabel. Dalam CRPD secara khusus mengatur pasal 12 – equal recognition before the law (persamaan pengakuan di depan hukum) dan juga diatur dalam General Comment (Komentar Umum nomor 1 tahun 2014). Hal in mengingat bahwa rezim guardianship dan orang yang ditaruh dibawah pengampuan masih sangat kental dan perlu dilakukan reformasi secara hukum formal termasuk salah satunya KUHPerdata yang berlaku di Indonesia.
Pada dasarnya seseorang bisa ditaruh di bawah pengampuan jika orang (dewasa) tersebut berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, walaupun terkadang orang tersebut cakap menggunakan pikirannya. Selain itu, orang dewasa juga dapat ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan (Pasal 433 KUHPer). Terminologi dan penggunaan istilah tersebut juga tidak sesui dengan konteks terkini. Terminologi ini jelas berpengaruh terhadap stigmatisasi dan diskriminasi pada kelompok difabel. Hal ini pun tidak disadari oleh system peradilan di Indonesia, sehingga perangkat peradilan dan segala bentuk kebijakan yang dihasilkan pun, bisa dikategorikan sebagai discriminatory dan tidak dikatakan sebagai “disability rights sensitive.”
Pasal – pasal yang dijelaskan dalam KUH Perdata dan ternyata justru semakin menguatkan rezim guardianship dimana dampaknya melanggengkan difabel tinggal di panti-panti rehabilitasi dan forced treatment/pemaksaan pengobatan tanpa informed consent, sampai dengan kehilangan hak sebagai warga Negara yang fundamental misalnya hak memilih dan dipilih dalam Pemilu, hak untuk menikah dan berkeluarga serta hak memiliki property termasuk hak mengakses financial affairs misalnya Kredit Bank, KPR bahkan kredit usaha kecil pun tidak bisa diakses. CRPD hadir dalam hal ini untuk memberikan perspective baru dalam “universal legal capacity” yang tidak membatasi basis disabilitas atau kapasitas mental.
Legal capacity menurut CRPD pasal 12 dan General Comment/Komentar Umum tentang Pengakuan Legal capacity di depan Hukum : Kapasitas hukum untuk menjadi pemegang hak memberikan hak kepada seseorang untuk mendapatkan perlindungan penuh atas haknya oleh sistem hukum. Kapasitas hukum untuk bertindak berdasarkan hukum mengakui orang tersebut sebagai agen dengan kekuasaan untuk terlibat dalam transaksi dan membuat, mengubah, atau mengakhiri hubungan hukum. Hak atas pengakuan sebagai agen hukum diatur dalam pasal 12, paragraf 5 Konvensi, yang menguraikan kewajiban Negaranegara Pihak untuk “mengambil semua langkah yang tepat dan efektif untuk memastikan persamaan hak penyandang disabilitas untuk memiliki atau mewarisi. properti, untuk mengontrol urusan keuangan mereka sendiri dan untuk memiliki akses yang sama ke pinjaman bank, hipotek dan bentuk kredit keuangan lainnya, dan memastikan bahwa penyandang disabilitas tidak dirampas properti mereka secara sewenang-wenang ”.
Kapasitas mental mengacu pada keterampilan pengambilan keputusan seseorang, yang secara alami bervariasi dari satu orang ke orang lain dan mungkin berbeda untuk orang tertentu tergantung pada banyak faktor, termasuk faktor lingkungan dan sosial. Pasal 12 Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas, bagaimanapun, memperjelas bahwa “pikiran yang tidak sehat” dan label diskriminatif lainnya bukanlah alasan yang sah untuk penolakan kapasitas hukum (baik kedudukan hukum maupun badan hukum). Berdasarkan pasal 12 Konvensi, defisit yang dirasakan atau aktual dalam kapasitas mental tidak boleh digunakan sebagai pembenaran untuk menolak kapasitas hukum.
Oleh karena itu, kedua ruas kapasitas hukum tersebut harus diakui agar hak atas kapasitas hukum dapat dipenuhi; mereka tidak bisa dipisahkan. Konsep kapasitas mental itu sendiri sangat kontroversial. Kapasitas mental, seperti yang biasa disajikan, bukanlah fenomena yang objektif, ilmiah, dan terjadi secara alami. Kapasitas mental bergantung pada konteks sosial dan politik, begitu pula disiplin ilmu, profesi dan praktik yang memainkan peran dominan dalam menilai kapasitas mental.
Selain itu sebagian besar laporan Negara Pihak yang telah diperiksa oleh Komite sejauh ini, konsep kapasitas mental dan hukum telah digabungkan sehingga seseorang dianggap memiliki gangguan keterampilan membuat keputusan, seringkali karena disabilitas kognitif atau psikososial, atau kapasitas hukumnya untuk membuat keputusan tertentu dihapuskan. Di bawah ini penjelasan pasal 12 CRPD dalam konteks bahasa Indonesia:
Pasal 12, paragraf 3, mengakui bahwa Negara-negara Pihak memiliki kewajiban untuk memberikan penyandang disabilitas akses untuk mendukung pelaksanaan kapasitas hukum mereka. Negara-negara pihak harus menahan diri untuk tidak menyangkal kapasitas hukum mereka dan harus, sebaliknya, memberikan penyandang disabilitas akses ke dukungan yang diperlukan untuk memungkinkan mereka membuat keputusan yang memiliki dampak hukum.
Pasal 12, ayat 4, menguraikan pengamanan yang harus ada dalam sistem dukungan dalam pelaksanaan kapasitas hukum. Pasal 12, paragraf 4, harus dibaca sehubungan dengan pasal 12 lainnya dan seluruh Konvensi. Ini mengharuskan Negara Pihak untuk membuat pengamanan yang sesuai dan efektif untuk pelaksanaan kapasitas hukum. Tujuan utama pengamanan ini harus memastikan penghormatan terhadap hak, kemauan, dan preferensi orang tersebut. Untuk mencapai ini, pengamanan harus memberikan perlindungan dari penyalahgunaan atas dasar yang sama dengan orang lain.
Pasal 12, paragraf 5, mensyaratkan Negara Pihak untuk mengambil tindakan, termasuk tindakan legislatif, administratif, yudikatif dan tindakan praktis lainnya, untuk memastikan hak penyandang disabilitas dalam urusan keuangan dan ekonomi, atas dasar kesetaraan dengan orang lain. Akses ke keuangan dan properti secara tradisional ditolak oleh penyandang disabilitas berdasarkan model medis disabilitas. Pendekatan penolakan kapasitas hukum penyandang disabilitas untuk masalah keuangan harus diganti dengan dukungan untuk menjalankan kapasitas hukum, sesuai dengan pasal 12 ayat 3. Dengan cara yang sama gender tidak boleh digunakan sebagai dasar diskriminasi di bidang keuangan dan properti, hanya karena memiliki disabilitas.
Adapun rekomendasi - rekomendasi konkret dalam jangka pendek, menengah dan panjang berkaitan dengan kapasitas hukum difabel dalam KUH Perdata:
Reformasi hukum - konsistensi Negara untuk meratifikasi CRPD dalam konteks national dan daerah
Anggaran sistemik dan memadai serta kelonggaran waktu yang secara intensif dan berkala dilakukan untuk melakukan reformasi hukum
Pelatihan intensif untuk hakim, jaksa, paralegal secara intensif dan berkelanjutan terhadap upaya peningkatan kesadaran terhadap hak penyandang disabilitas dalam konteks kapasitas legal dan persamaan pengakuan terhadap hukum secara adil